Rabu 29 Jun 2016 13:58 WIB

Serangan Bom Terjadi Setelah Normalisasi Hubungan Turki-Israel

Rep: Gita Amanda/ Red: Angga Indrawan
Aparat kepolisian Turki memblokade jalan setelah terjadi aksi serangan bom bunuh diri di Bandara Ataturk, Istanbul, Turki, pada Selasa (28/6).
Foto: EPA/Sedat Suna
Aparat kepolisian Turki memblokade jalan setelah terjadi aksi serangan bom bunuh diri di Bandara Ataturk, Istanbul, Turki, pada Selasa (28/6).

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Serangan teror kembali mengguncang Turki pada Selasa (28/6), yang menewaskan 36 jiwa dan melukai lebih dari 140 lainnya. Sebuah analisis mengatakan, serangan terjadi tak lama setelah Turki memperbaiki hubungan dengan Israel dan Rusia.

Dilansir hurriyetdailynews.com, serangan di Bandara Ataturk Turki terjadi tak lama setelah Turki dan Israel menandatangani kesepakatan untuk menormalkan hubungan pascaketegangan selama enam tahun. Para pejabat dari kedua negara terus mengatakan kedua pihak akan mendapat keuntungan dari kesepakatan.

Sebelum serangan, pada 27 Juni, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan huga mengirim surat kepada rekan Rusianya Vladimir Putin. Dalam suratnya, Erdogan menyatakan kesedihan mendalamnya atas jatuhnya pesawat perang Rusia tahun lalu karena melanggar wilayah udara Turki. Rusia menyambut positif upaya Turki. Kedua negara juga memuji peningkatan hubungan tersebut.

Masih selang satu hari sebelum serangan, Perdana Menteri Turki Binali Yildrim juga mengumumkan negara itu menyuarakan kesiapannya untuk menormalisasi hubungan dengan Mesir yang memburuk pascakudeta militer.

Selain itu analis mengatakan, serangan pada Selasa juga tak hanya terjadi tak lama setelah Ankara memperbaiki hubungan dengan sejumlah negara. Namun mereka mengatakan, Ankara juga mulai melakukan beberapa pergerakan utama melawan ISIS yang dianggap mengancam perbatasan neagra.

Setidaknya 36 tersangka serangan bim ISIS tahun lalu di Ankara, menghadapi 11.570 tahun hukuman penjara berdasarkan dakwaan oleh Kejaksaan Ankara pada 28 Juni. Surat dakwaan juga mencantumkan nama militan ISIS Yunus Emre Alagoz dan militan Suriah yang tak disebut namanya.

Selain itu, Turki juga mengubak kebijakan militernya yang memungkinkan keterlibatan sekutu NATO melakukan patrli udara di sepanjang perbatasan di utara Suriah untuk melawan ISIS. Pernyataan ini dikutip Reuters dari seorang pejabat Turki pada 28 Juni.

Namun analis juga tak mengesampingkan kemungkinan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) berada di balik serangan. Terlebih setelah kampanye militer terbaru Turki pada kelompok yang dilarang tersebut di beberapa provinsi di tenggara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement