Rabu 12 Jun 2019 14:00 WIB

Inilah Sosok yang Bongkar Kebengisan ISIS di Kota Mosul

Red:
abc news
Foto: abc news
abc news

Ketika kotanya "dibajak oleh kematian", seorang pemuda Mosul, Irak, mempertaruhkan nyawa untuk mengabarkan ke dunia luar apa yang sedang terjadi. Berikut catatan wartawan ABC Fiona Pepper yang menemui pemuda itu.

Saya tidak bisa menyampaikan dimana kami bertemu. Juga dimana alamatnya, kotanya, atau bahkan di negara mana.

Saya hanya bisa menyebutkan pertemuan kami berlangsung di sebuah tempat di Eropa, pada hari Minggu yang dingin ketika saya mengetuk pintu rumahnya.

Pria bernama Omar Muhammad ini punya alasan kuat untuk berhati-hati mengenai lokasi tempat tinggalnya.

Ketika para militan kelompok terorir ISIS menguasai kota asalnya, Omar membuat sebuah blog anonim, Mosul Eye, yang melaporkan kebengisan yang sedang berlangsung.

"Jangan percaya pada siapa pun, dokumentasikan semuanya" merupakan mottonya.

Dua tahun kemudian, dengan pertimbangan keselamatan jiwanya, Omar meninggalkan Irak. Sampai kini dia tidak tahu apakah aman baginya untuk kembali. Dia tidak tahu apakah akan melihat keluarganya lagi.

"Tidak bisa pulang ke Mosul rasanya seperti kematian," ujarnya.

Dia juga tidak merasa aman di tempatnya sekarang.

Yang terlihat hanya darah

Pada 6 Juni 2014, Mosul, kota terbesar kedua Irak, jatuh ke tangan ISIS. Kelompok teroris ini mendeklarasikan kekhalifahan dengan menerapkan aturan "Islam" menurut tafsiran mereka yang ketat.

Ribuan orang terbunuh, ratusan ribu warga lainnya mengungsi, dan sebagian ikut bergabung dengan kelompok ekstremis itu.

"Sulit menggambarkan seperti apa kehidupan di bawah pemerintahan atau kekhalifahan ISIS itu," kata Omar.

"Yang saya lihat hanyalah darah. Seharusnya bendera mereka merah, bukan hitam."

"Hitam itu sendiri sudah cukup menggambarkan kematian, tetapi bendera mereka ini penuh dengan darah."

Pada 10 Juni 2014, ISIS berhasil mengambilalih kendali secara penuh atas Mosul, kota berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa.

Omar menjelaskan kehidupan pun jadi sulit dikenali; orang dipaksa tunduk pada hukum kekhalifahan dan jika menolak akan berakibat brutal.

"Hari biasa di Mosul, Anda akan menyaksikan orang dipenggal, membuang orang dari gedung tinggi, memukul atau melempari batu (hingga mati)," jelasnya.

Kebenaran jadi korban pertama

Omar berusia 20-an akhir ketika ISIS menduduki kotanya. Dia saat itu mengajar sebagai dosen sejarah di Universitas Mosul dan hidup bersama ibu, saudara, dan ponakan-ponakannya.

"Saat itu musim ujian akhir di universitas dan saya sedang memeriksa hasil ujian mahasiswaku," kenang Omar.

Dia mulai menulis di blognya Mosul Eye beberapa hari setelah kota diduduki.

"Ketika ISIS datang, mereka membawa narasi sejarah mereka sendiri," kata Omar, seraya menyebut "kebenaran jadi korban pertama perang".

Dia pun bertekad menciptakan "narasi independen" untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi.

"Banyak kebohongan dan berita palsu disebarkan oleh media, yang bertentangan dengan kenyataan di lapangan," tulisnya pada 18 Juni 2014.

"Pekerjaan saya sebagai sejarawan membutuhkan pendekatan yang tidak memihak, akan saya patuhi dan menyingkirkan pendapat pribadi," katanya.

"Saya hanya akan menyampaikan fakta yang saya lihat."

Sebulan kemudian, pada 19 Juli, dia menulis di blognya:

"Saya mendapat info sekarang bahwa dua orang Kristen dibunuh di Mosul oleh ISIS di depan keluarga mereka. Uang mereka dijarah."

"Salah satu teman Kristen saya memberitahu: mereka mengambil segalanya dari kami, semuanya, bahkan ponsel kami dan pakaian anak-anak kami. Mereka tidak mengizinkan kami pakai mobil, tapi memerintahkan kami berjalan tanpa alas kaki ke perbatasan Nineveh."

Mosul Eye dengan cepat menjadi sumber berita penting bagi puluhan ribu warga yang terjebak di kota itu.

"Sangat sulit bagi warga sipil untuk bergerak di kota begitu serangan dimulai," jelas Chris Woods, direktur Air Wars, sebuah LSM yang memantau korban sipil.

"Seringkali cukup sulit bagi mereka berkomunikasi."

"ISIS membunuh siapa pun yang ditemukan memegang ponsel, misalnya, tetapi warga Mosul masih menggunakan ponsel mereka dengan risiko besar."

Blog Omar itu jadi sumber penting bagi wartawan yang meliput pendudukan Mosul.

"Siapa pun yang tinggal di kota itu saat itu berisiko mati jika ketahuan berbicara dengan dunia luar," kata Sophie McNeill, mantan koresponden ABC di Timur Tengah.

"Jadi seseorang seperti Omar yang melakukan pekerjaan ini tentunya sangat berbahaya dan berani."

Mercusuar harapan

Tahany, yang meminta untuk tidak menggunakan nama keluarganya, merupakan mahasiwa ekonomi di Universitas Mosul ketika kota itu jatuh ke tangan ISIS.

Takut nyawanya terancam, dia menghabiskan hampir 1.000 hari di dalam rumah.

Setiap kali dia mendapat akses internet, Tahany pasti membaca laporan Mosul Eye.

"Saat itu inilah satu-satunya mercusuar harapan," katanya.

"Dia memberi kami kepercayaan dan keberanian bahwa ISIS akhirnya akan dikalahkan dan keluar dari Mosul," katanya.

"Saya bisa katakan bahwa semua orang Mosul sudah terbiasa mendapatkan berita dari Mosul Eye."

Aktivitas rahasia Omar ini berlangsung hampir dua tahun, dan "Tak ada yang tahu saya yang membuat Mosul Eye," katanya.

"Bahkan keluarga sendiri, ibuku pun tidak tahu," ujar Omar.

"Saya tahu ISIS mencari pembuat Mosul Eye dari ancaman yang mereka kirimkan setiap hari."

"Semakin mereka mengancaman, semakin saya merasa berbuat sesuatu yang besar melawan mereka."

Meninggalkan Irak

Pada Desember 2015, Omar melarikan diri dari Irak. Bersamanya, dia membawa hard drive penuh dengan bukti-bukti yang mendokumentasikan kebengisan ISIS.

Selama 12 bulan berikutnya dia pun berhasil masuk ke Eropa melalui Turki. Semuanya sembari meneruskan Mosul Eye.

Pada 7 Desember 2016, Omar menulis:

"Saya menulis hari ini dan saya jauh dari Mosul, jauh dari cintaku. Saya terpaksa meninggalkan kotaku tercinta, tidak tahu apakah suatu hari nanti akan kembali. Mungkin tidak, tapi saya meninggalkan sebuah kota di mana kematian telah membajak jiwa kota dan penduduknya."

"Adegan terakhir yang saya lihat adalah mayat yang tergantung pada tiang listrik."

"Saya berusaha menengok ke belakang untuk melihat kota itu untuk terakhir kalinya. Tapi saya tak berani. Saya menyakinkan diri sendiri bahwa ini mungkin yang terakhir dan saya ingin menyimpan tatapan terakhir kota di mataku."

Pada 20 Juli tahun berikutnya, setelah pertempuran Mosul selama 10 bulan, Pemerintah Irak mengumumkan berhasil mengalahkan ISIS.

Pada saat itu Omar telah mendapatkan suaka di Eropa.

Lelah menjalani kehidupan ganda, dia akhirnya membuka identitasnya kepada teman-teman, keluarga, dan hampir 300.000 pembaca blognya.

"Saya ingin kembali ke kehidupan normal," katanya.

"Saya akhirnya bisa mendiskusikan hal ini dengan orang lain, bukan hanya menceritakannya pada diri sendiri."

Jalan ke depan

Meski Mosul secara resmi dibersihkan dari ISIS, pembangunan kembali kota ini akan memakan waktu puluhan tahun.

Sembari menikmati kopi hitamnya, Omar dengan antusias memaparkan rencana-rencananya, mulai dari mengoordinasi sumbangan buku dan literatur untuk perpustakaan Mosul, hingga konser musik.

Dia bertekad menciptakan revolusi budaya di kota yang telah kehilangan begitu banyak sejarahnya itu.

"Hal paling menyedihkan dari semua yang terjadi di Mosul adalah semua yang terjadi pada objek fisik sejarah Mosul," ujar Omar.

"Sejarah tertulis tidak akan pernah hancur karena akan selalu ada salinannya."

"Mosul kehilangan 70 persen sejarah fisiknya."

Ditanya bagaimana dia mengatasi kebengisan yang dia saksikan di Mosul, Omar menukas, "Saya tidak tahu."

"Tapi saya rasa saya telah berhasil untuk sesuatu yang penting," tambahnya.

Namun meski perubahan kini berlangsung di Mosul, dia tidak bisa pulang. Terlalu berbahaya - terutama karena dia sudah mengungkapkan identitasnya.

"Perang melawan ISIS masih berlangsung," katanya.

"Masalahnya masih ada. Masalahnya tertanam dalam masyarakat."

Omar, yang memiliki suaka di Eropa, "masih belum bisa banyak mempercayai orang".

"Bila bepergian saya akan bilang ke suatu negara tapi pergi ke negara berbeda," katanya.

"Aku tidak bisa pastikan kapan akan tiba. Selalu harus berhati-hati. Tentunya ini bukan kehidupan yang baik."

Rutinitas kecil membantunya selalu mengingat kampung halaman.

Baik saat naik kereta atau pesawat, dia selalu duduk di kursi nomor 37.

"Distrik 37 adalah distrik di Mosul tempat saya dibesarkan," kata Omar.

"Hal itu memberiku kekuatan, membantuku untuk bisa bertahan."

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement