Rabu 06 Apr 2011 07:46 WIB

Utusan AS di Benghazi Bicarakan Bantuan Pada Pemberontak Libya

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON--Seorang utusan Amerika Serikat tiba di Benghazi untuk mengetahui lebih baik mengenai oposisi Libya dan untuk membicarakan kemungkinan bantuan keuangan yang mereka butuhkan, kata seorang pejabat AS, Selasa. Kunjungan Chris Stevens, bekas wakil kepala misi di kedutaan besar AS di Tripoli, mencerminkan upaya AS untuk memperdalam hubungannya dengan kelompok pemberontak, yang melancarkan perang saudara terhadap pemimpin Libya Muamar Qaddafi itu.

Kekuatan udara pimpinan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sekarang ini menjaga keseimbangan di Libya, mencegah pasukan Gaddafi menghancurkan pemberontakan yang telah berusia tujuh pekan itu, tapi tak dapat memberi kemenangan langsung pada pemberontak. Sementara Menlu AS Hillary Clinton telah dua kali bertemu dengan wakil panting oposisi Dewan Transisi Nasional (TNC), negara itu tidak mengikuti dengan segera sekutunya Prancis dan Italia yang telah mangakui secara resmi kelompok pemberontak itu.

Beberapa pejabat AS mengatakan mereka masih mengumpulkan informasi mengenai kelompok pemberontak itu dan tujuannya, meskipun mereka memuji komitmen yang dinyatakannya pada demokrasi dan hak asasi manusia. "Ia berada di sana untuk mengetahui anggota-anggota TNC," kata pejabat AS, yang menambahkan Stevens akan menyelidiki seperti sistem politik yang oposisi ingin kembangkan dan bagaimana membantu TNC membayar tagihan rekeningnya mengingat sanksi internasional terhadap Libya.

"Kami mengakui TNC akan membutuhkan dana untuk terus berjalan dan kami mencari cara-cara yang kami dapat bantu," katanya. Gagasan itu adalah melihat yang dapat dikerjakan "melalui masyarakat internasional mengingat tantangan-tantangan yang sanksi timbulkan".

Stevens juga merencanakan untuk membicarakan bantuan kemanusiaan pada oposisi pemberontak, katanya. Libya adalah negara Arab paling akhir yang menyaksikan pemberontakan rakyat terhadap seorang pemimpin otoriter, menyusul demonstrasi yang menjatuhkan presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari dan presiden Mesir Hosni Mubarak pada Februari.

Demonstrasi antipemerintah yang dimulai 15 Februari di Libya berubah menjadi perang saudara setelah pasukan Gaddafi memadamkan pemberontakan di bagian barat dan meninggalkan bagian timur, termasuk kota Benghazi dan Misrata di tangan pemberontak, yang dibantu pasukan koalisi Barat.

sumber : antara/reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement