Jumat 08 Jul 2011 10:09 WIB

2.300 Warga Sudan Selatan Tewas Akibat Kekerasan Suku dan Pemberontakan

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA, SUDAN - Lebih dari 2.300 warga Sudan Selatan tewas dalam kekerasan suku dan pemberontak tahun ini, kata PBB, Kamis (7/7), dalam ingatan yang tak menyenangkan pada ketidakamanan di wilayah itu pada hari-hari terakhir sebelum kemerdekaannya.

Sudan selatan dijadwalkan memisahkan diri Sabtu dan beberapa pengamat telah mengatakan wilayah itu beresiko menjadi negara gagal jika mereka tidak bisa mengendalikan pemberontak dan permusuhan berdarah yang memecah-belah suku-sukunya.

Lebih dari 500 orang telah tewas dalam dua pekan terakhir Juni, suatu penambahan cepat dari 1.800 kematian akibat kekerasan yang dilaporkan pada pertengahan Juni, penghitungan PBB menunjukkan.

Sebagian besar kematian belakangan itu terkait dengan serangkaian serangan ternak di kabupaten Pibor di negara bagian penghasik minyak Jonglei di Sudan selatan, kata Lise Grande, pejabat penting kemanusiaan PBB di Sudan selatan, kepada Reuters.

Kelompok-kelompok etnik saling berperang karena ternak -- bagian sangat penting dari ekonomi warga pribumi -- selama berabad-abad. Jumlah kematian meningkat setelah beberapa dasawarsa perang saudara yang menyebabkan wilayah itu dibanjiri dengan senjata ringan.

Pemerintah Sudan selatan menuduh Sudan utara mempersenjatai suku-suku yang bersaing dan memicu pemberontakan dalam upaya untuk mengganggu wilayah itu dan dan tetap menguasai minyaknya. Khartoum membantah tuduhan itu.

Referendum kemerdekaan adalah puncak dari perjanjian perdamaian 2005 yang mengakhiri perang saudara utara/selatan yang telah menewaskan sekitar 2 juta orang dan memaksa 4 juta orang untuk melarikan diri.

Dari awal tahun ini hingga akhir Juni, 2,368 orang telah tewas dalam 330 insiden kekerasan yang meluas ke sembilan dari 10 negara bagian di negara itu, menurut laporan PBB. Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA) selatan mengatakan pemerintah setempat "telah disergap" oleh para pencuri ternak di beberapa daerah.

"Tingkat kehadiran SPLA di Pibor tidak cukup. Kami menunggu perintah dari pemerintah untuk campurtangan tapi mereka belum datang," kata juru bicara SPLA Philip Aquer.

Kekerasan di seluruh Sudan selatan telah memaksa lebih dari 270.000 orang untuk melarikan diri, termasuk 100.000 yang melarikan diri dari pertempuran di wilayah Abyei yang diperselisihkan -- tempat titik nyala kekerasan utara/selatan di perbatasan mereka yang belum terpecahkan.

Lebih dari 300.000 orang juga telah kembali secara sukarela ke selatan sejak Oktober tahun lalu, menambah tekanan pada pemerintah dan badan bantuan.

"Kami telah mendapat 1.000 orang yang pulang per hari pada saat ini," ujar Grande. "Itu meningkat dari beberapa ratus per hari baru pada beberapa pekan lalu, dan saya kira kami mungkin belum mencapai puncaknya. Jumlah itu mungkin akan lebih besar."

Kelompok Hak-hak Asasi Pengungsi Internasional mengatakan ribuan orang selatan telah terdampar di Khartoum dalam keadaan buruk dan berisiko mendapat serangan dan gangguan dalam perjalaan mereka ke selatan.

"Mereka tinggal seperti penghuni liar (di Khartoum), dengan tidak asa akses ke air bersih, kakus, atau kebutuhan dasar lainnya," kata Andrea Lari dari kelompok itu.

Sedikitnya tujuh milisi pemberontak memerangi pasukan pemerintah di beberapa daerah terpencil di wilayah selatan. Banyak dari mereka mengatakan mereka berperang terhadap apa yang mereka anggap sebagai korupsi, diskriminasi etnik dalam pemerintah selatan.

Presiden Sudan selatan Salva Kiir telah memberikan pemberontak-pemberontak tersebut pengampunan, meminta mereka untuk membantu membangun negara baru itu.

sumber : Antara/ Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement