Jumat 09 Sep 2011 06:57 WIB

Kelompok Muslim Akui Serangan Mematikan di Xinjiang Cina

REPUBLIKA.CO.ID,BEIJING--Sebuah kelompok muslim mengaku bertanggung jawab atas serangan-serangan mematikan di Xinjiang, Cina barat jauh, dan pemimpinnya mengancam melancarkan kekerasan lebih lanjut untuk membalas "pendudukan Cina", kata kelompok pengamat intelijen yang berpusat di AS. Pernyataan video itu, yang disampaikan oleh pemimpin Partai Islam Turkistan, Sheikh Abdul Shakoor Damla, dipasang di sejumlah forum jihad pada Selasa, kata SITE, Rabu.

 

Pengakuan itu disampaikan setelah serangkaian serangan mematikan pada Juli di kota wilayah selatan Kashgar dan kota gurun Hotan di Xinjiang yang menewaskan lebih dari 30 orang. "Semua kebijakan yang dijalankan pemerintah komunis Cina terhadap muslim di Turkestan Timur bertujuan memuntungkan sepenuhnya identitas muslim dan tradisi kuat mereka," kata Damla, yang berpakaian putih dengan sorban hitam, dengan sebuah senapan di sampingnya, dalam pernyataan video sekitar 10 menit itu.

"Operasi jihad di provinsi-provinsi Hotan dan Kashgar hanya tindakan pembalasan terhadap orang komunis atheis, yang terang-terangan memerangi agama Allah Yang Maha Kuasa," katanya. Cina menuduh kelompok-kelompok muslim radikal dan separatis bertanggung jawab atas kedua insiden itu, namun sejumlah organisasi HAM dan kelompok pengasingan cenderung menyalahkan kebijakan opresif pemerintah Cina yang menyulut amarah rakyat.

Liu Weimin, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, mengatakan, Kamis, ia belum melihat rekaman video itu, namun Cina yakin "saat ini ada sejumlah kekuatan Turkestan Timur, termasuk teroris, yang bertujuan memecah-belah Cina dan yang terus mengobarkan sentimen konfrontasi etnik".

Ibu kota Xinjiang, Urumqi, menjadi pusat kerusuhan terburuk di Cina dalam beberapa dasawarsa pada 5 Juli 2009. Kerusuhan itu merenggut hampir 200 jiwa dan mencederai sekitar 1.700 orang.Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia seperti Ankara, Berlin, Canberra dan Istanbul.

Orang Uighur berbicara bahasa Turki dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah yang paling keras melontarkan kecaman saat itu dan menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai "semacam pembantaian". Orang-orang Uighur di pengasingan mengklaim bahwa pasukan keamanan Cina bereaksi terlalu berlebihan atas protes damai dan menggunakan kekuatan mematikan.

Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang Cina Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.

Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran.

Beijing tidak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu, yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India, dan memiliki cadangan minyak besar serta merupakan daerah penghasil gas alam terbesar Cina. Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang Cina Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri.

Beijing mengatakan bahwa kerusuhan itu, yang paling buruk di kawasan tersebut dalam beberapa tahun ini, merupakan pekerjaan dari kelompok-kelompok separatis di luar negeri, yang ingin menciptakan wilayah merdeka bagi minoritas muslim Uighur. Kelompok-kelompok itu membantah mengatur kekerasan tersebut dan mengatakan, kerusuhan itu merupakan hasil dari amarah yang menumpuk terhadap kebijakan pemerintah dan dominasi ekonomi Cina Han.

 

sumber : antara/reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement