Ahad 11 Dec 2011 09:51 WIB

Kampanyekan Islam Demokrasi, 'Ibu Revolusi' Raih Nobel Perdamaian

Rep: Dwi Murdaningsih/ Red: Didi Purwadi
Tawakul Karman (kiri)
Foto: AP/dapd/Steffi Loos
Tawakul Karman (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, OSLO - Kampanye 'Islam tidak mengancam demokrasi' membuat aktivis Yaman meraih nobel  perdamaian. Kampanye Tawakul Karman (32) memicu bangkitnya partai-partai Islamis di pemilu terbaru ‘Arab Spring’.

 

"Semua agama menghormati demokrasi," ujar Karman saat menerima penghargaan di Oslo pada Sabtu (10/12) waktu setempat. Ia menerima penghargaan bersama dua wanita asal Liberia yaitu Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf dan Leymah Gbowee.

 

Kampanye Karman dinilai membawa pengaruh besar bagi kehidupan demokrasi di negara-negara Arab. Banyak partai Islam yang menjadi pemenang pada pemilihan umum (pemilu) 'Arab Spring' di tahun ini.

 

Pemilu pertama setelah 'Arab Spring' dilaksanakan di Tunisia. Partai Islam Ennahda dinyatakan sebagai pemanang dengan memperoleh 41 persen kursi. Kememangan atas partai Islam juga terjadi di Maroko. Kini, Ikhwanul Muslimin dinobatkan sebagai pemenang pada pemilu Mesir.

 

Karman mengatakan bahwa soal demokrasi sebenarnya dari interpretasi dan toleransi yang dibuat oleh pengikut mereka. "Satu-satunya masalah adalah kesalahpahaman dari pengikutnya, entah itu Islam, Kristen, Yahudi atau agama lain. Mereka  seolah mengatakan bahwa ini adalah agama,” kata dia yang kini dijuluki ‘Ibu Revolusi’.

 

Mendapatkan julukan "Ibu Revolusi", Karman berharap revolusi yang berlangsung di Yaman akan mengubah citra negaranya di luar negeri yang dianggap sebagai surga teroris.

"Sebelum revolusi, semua orang berbicara tentang terorisme dan Osamah bin Laden. Tapi  setelah revolusi, Anda akan melihat Yaman yang damai, "katanya kepada Reuters.

 

Karman memainkan bagian penting dalam protes di Yaman yang meminta Presiden Ali Abdullah Saleh untuk mundur beberapa bulan lalu. Nama, Karman mulai mencuat di Yaman setelah aktivis perdamaian ditahan tak lama di hari-hari awal revolusi. Dia menjadi tokoh kunci di antara aktivis sejak mereka mulai berkemah di Taghyir Square di pusat Sanaa menuntut berakhirnya kekuasaan keluarga Saleh selama tiga dekade.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement