REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY - Papua Nugini (PNG) dilanda konflik politik Selasa setelah ketua parlemen menolak mengakui keputusan pengadilan yang menetapkan Sir Michael Somare kembali sebagai perdana menteri.
Saat Somare menurut rencana akan dilantik Selasa, Australia mendesak masyarakat tenang, dan mengatakan pihaknya "sangat cemas" atas ketegangan di satu negara yang memiliki sejarah intrik politik dan korupsi itu.
Somare, 75 tahun, diangkat kembali sebagai pemimpin negara pulau Pasifik itu Senin malam ketika Mahkamah Agung memutuskan pemilihan Peter O'Neill untuk jabatan perdana menteri oleh para anggota parlemen Agustus lalu tidak konstitusional.
Tetapi ketua parlemen Jeffery Nape dalam sidang mendadak parlemen, Selasa memutuskan bahwa dia hanya akan mengakui O'Neill, mantan menteri keuangan dalam pemerintah Somare.
Somare digulingkan oleh mayoritas anggota parlemen setelah ia berada selama beberapa bulan dalam tahap penyembuhan untuk seusai menjalani operasi jantung. Ketidak hadirannya yang lama membuat para anggota parlemen mengumumkan jabatannya dicopot, yang tampaknya mengakhiri dominasinya dalam kancah politik di negara miskin itu.
Tetapi dalam satu keputusan dengan tiga hakim setuju dan dua lainnya menentang, Mahkamah Agung menyatakan tidak ada kekosongan dalam kegiatan kantor perdana menteri itu dan menyatakan keputusan untuk menyerahkan jabatan kepada O'Neill tidak sah.
"Pengadilan itu kembali menegakkan konstitusi kita," kata Somare, yang memimpin negara itu hampir separuh dari 36 tahun merdeka, setelah keputusan itu. "Pemerintah saya mengikuti proses dan menunggu bagi keputusanyang layak pengadilan itu."
Tetapi Nape menegaskan, Selasa bahwa O'Neill adalah pemimpin yang sah. "Undang-undang itu sangat jelas," katanya yang dikutip kantor berita Australian Associated Press. "Keputusan ketua parlemen pada 2 Agustus bahwa ada kekosongan (dalam jabatan perdana menteri) adalah sah."
Wartawan lokal Belinda Kora mengemukakan kepada AFP situasi di ibu kota Port Moresby tegang, polisi melepaskan tembakan ke udara dekat kediaman gubernur jendral Senin malam.
Ibu kota dilanda unjuk rasa untuk menanggapi keputusan itu dan belasan polisi bersenjata berat memblokade lokasi itu setelah keputusan Mahkamah Agung itu, kendatipun tidak ada kerusuhan dilaporkan. "Banyak orang bingung, mereka tidak tahu apa yang terjadi, siapa yang menjadi perdana menteri," kata Kora melalui telepon.
Menlu Australia Kevin Rudd menyerukan masyarakt tenang, dan mengatakan "aksi kekerasan tidak akan membantu siapapun." "Kami sangat cemas akan situasi di kota itu," katanya kepada stasiun televisi ABC.
Keluarga Somare, Juni lalu mengumumkan pengunduran dirinya tanpa berkonsultasi dengan dia karena dia sakit, tetapi ketika dia sembuh Somare menegaskan ia masih tetap pemimpin, dengan mengatakan "tidak ada kekosongan dalam posisi perdana menteri."
Somare menjadi pemimpin pertama negara yang merdeka tahun 1975 itu. Dia kehilangan jabatannya dalam pemungutan suara tidaka percaya di parlemen tahun 1980, tetapi kembali terpilih dan kembali menjadi perdana menteri dari tahun 1982 sampai 1985 dan dari tahun 2002.