Ahad 09 Sep 2012 21:36 WIB

SBY: Investasi Harus Digenjot

SBY sedang menyampaikan pidato di depan para chief executive officer dal am APEC CEO Summit di Vladivostok, Rusia, Sabtu (8/9). SBY menjadi salah satu pembicara utama dalam pertemuan para pengusaha yang masih merupakan rangkaian dari KTT APEC.
Foto: Nasihin Masha/Republika
SBY sedang menyampaikan pidato di depan para chief executive officer dal am APEC CEO Summit di Vladivostok, Rusia, Sabtu (8/9). SBY menjadi salah satu pembicara utama dalam pertemuan para pengusaha yang masih merupakan rangkaian dari KTT APEC.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha/ Laporan dari Vladivostok, Rusia

 VLADIVOSTOK – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau negara-negara anggota APEC untuk menggenjot investasi. “Negara yang masih menjaga konsumsinya ya terus dijaga. Belanja pemerintah juga ditingkatkan,” katanya, Ahad (9/9).

Presiden menyampaikan pandangan Indonesia dalam dua kali retret dan satu kali diskusi bersama 20 pemimpin APEC. Pandangan itu kemudian disampaikan lagi dalam jumpa pers dengan wartawan Indonesia di kawasan Far Eastern Federation University, Pulau Russky, Vladivostok, Rusia.

Kemarin, pertemuan tingkat tinggi APEC selama dua hari itu ditutup setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan poin-poin deklarasi di hadapan wartawan internasional. Dalam jumpa pers itu Putin menyampaikan selamat ulang tahun kepada SBY. Pada 9 September kemarin SBY genap berusia 63 tahun.

Menurut SBY, kondisi ekonomi Indonesia tetap bagus di tengah krisis di beberapa kawasan di dunia adalah akibat terjadinya investasi yang tinggi dan konsumsi yang tinggi. Dengan demikian fiskal bisa tetap ekspansif. Karena itu ia mengingatkan bahwa jika ada masalah ekspor, maka harus mendayagunakan komponen pertumbuhan ekonomi yang lain.

Pandangan SBY itu dikemukakan menanggapi paparan Direktur Eksekutif IMF Christine Lagarde. Di hadapan pimpinan APEC, Lagarde menyampaikan bahwa situasi di Euro Zone belum cerah. Selain itu aituasi di AS juga masih lemah. Sedangkan negara-negara yang disebut sebagai emerging economies juga tak kebal terhadap krisis. Hal itu misalnya dibuktikan dengan turunnya pertumbuhan ekonomi dunia karena terjadi penurunan ekspor akibat resesi. Hal itu akibat menurunnya permintaan pasar. Fakta lain adalah tetap tingginya angka pengangguran. Di tengah situasi itu, justru terjadi anomali. Biasanya di tengah penurunan permintaan maka harga turun, tapi yang terjadi justru terjadi kenaikan harga pangan dan minyak. Untuk itulah SBY menyarankan untuk menggenjot investasi dari negara-negara atau korporasi yang memiliki surplus dana. Investasi itu bisa dilakukan di mana pun, termasuk di Indonesia.

Adapun untuk mengurangi pengangguran, kata SBY, investasi itu terutama di sektor infrastruktur. Pada sisi lain, negara-negara yang masih bisa meningkatkan produksi pangan untuk terus meningkatkan produksinya. “Agar tak terjadi gejolak harga maka perlu koordinasi kebijakan antar-negara,” katanya. Sebagai contoh ia menyebutkan koordinasi Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Kamboja dalam masalah beras.

Indonesia juga sedang menjajagi hal serupa untuk produk karet dengan Thailand dan Malaysia. Tapi bukan bersifat kartel atau apapun yang melanggar ketentuan WTO. “Dengan demikian ekonomi regional akan kuat. Jika semua all out maka akan terjadi building block,” katanya. Jika hal itu juga terjadi di kawasan lain maka ekonomi anggota APEC akan terjaga.

Pada kesempatan itu, SBY kembali menegaskan program Indonesia yang ambisius soal MP3EI. Program ini bukan saja menguntungkan Indonesia tapi juga akan menguntungkan negara-negara se kawasan. Program yang dicanangkan hingga 2025 itu akan menelan dana sekitar Rp 500 miliar dolar AS.

Ia memperkirakan dari APBN, BUMN, dan swasta nasional akan terhimpun 350 miliar dolar AS. Sehingga masih butuh 150 miliar dolar AS lagi yang bisa datang dari dana asing. Hal ini merupakan peluang bagi investor asing maupun bagi pertumbuhan ekonomi kawasan.

Sedangkan pada retret kedua lebih banyak dibahas soal ketahanan pangan. Penduduk dunia saat ini sekitar 7 miliar jiwa. Pada 2045 akan naik menjadi sembilan miliar jiwa. Dalam periode itu, katanya, kebutuhan pangan akan naik 70 persen. Pada sisi lain kelas menengah di negara berkembang meningkat sehingga akan meningkatkan konsumsi juga. Dalam kaitan ini, kata Presiden, Indonesia mengajukan tiga isu.

Pertama, pasokan pangan. Negara-negara APEC harus meningkatkan produksi pangan dengan meningkatkan investasi untuk infrastruktur pertanian seperti irigasi dan waduk. Kedua, keterjangkuan dan stabilitas harga. Menurutny, dalam hal ini bukan semata soal produksi dan konsumsi, tapi juga ada masalah distorsi pasar karena perilaku para spekulan di pasar komoditas pangan. Ketiga, nilai tukar petani dan kesejahteraan petani. “Kita harus ingat dengan keringat petani dan jerih payah petani. Petani harus lebih untung,” ujarnya.

Untuk itu, SBY mengajak negara-negara APEC untuk meningkatkan investasi di sektor pertanian, termasuk infrastrukturnya. Juga harus ada kerja sama riset dan inovasi. Ia juga mengingatkan tentang pentingnya perbaikan rantai pasokan. Selain itu harus ada koordinasi kebijakan antar-negara. Masalah cadangan pangan juga tak kalah pentingnya. “Tentu kita harus melaksanakan semua komitmen itu,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement