Jumat 19 Oct 2012 09:16 WIB

Ke Israel, Muslim Jerman Prihatin Kondisi HAM

Dua anggota grup Muslim Jerman dan Samuel Schidem (tengah)
Foto: HAREETZ
Dua anggota grup Muslim Jerman dan Samuel Schidem (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID,TEL AVIV-- Tepat di jantung Tel Aviv, Bulevar Rothschild, satu grup Muslim Jerman, sebagian besar wanita mendengar penuh perhatian penuturan mantan anggota Partai Labor, Nadia Hilou. Wanita Israel keturunan Arab itu tengah menganalisa keluhan dan tuntutan minoritas di Israel.

Dalam saat terakhir kunjungan 10 hari mereka ke Israel dan Tepi Barat, grup Muslim Jerman tadi tak hanya lelah, mereka juga kepanasan. Namun kondisi itu tak menurunkan antusiasme para wanita anggota grup yang sebagian besar mengenakan jilbab.

"Bagaimana anda menyebut Israel demokrasi ketika mereka tak memiliki konstitusi," tanya seseorang, seperti dikutip oleh Hareetz, Kamis (18/10)

"Bagaimana anda menyebut itu demokrasi ketika tak ada penghormatan terhadap hak asasi," tanya yang lain.

Mereka juga bertanya-tanya mengapa warga Israel keturunan Arab tidak memboikot pemilu nasional sebagai protes terhadap perlakuan pemerintah yang diskriminatif. Mereka juga ingin mendengar pandangan Hilou mengenai hukum yang melarang penduduk Israel keturunan Arab menikah dengan warga Palestina di mana pun jika mereka tetap ingin tinggal di Israel.

"Anda benar," ujar Hilou. "Ini adalah bentuk pelanggaran besar hak asasi manusia. Saya juga keberatan dengan hukum ini dan juga anggota Knesset (julukan parlemen Israel) Arab lain.

"Tapi apa yang bisa kita perbuat," imbuhnya. "Kami semua hanya minoritas kecil di Knesset dan karena itu kami tak memiliki banyak kekuatan."

Namun ia menggarisbawahi kabar baik lain, terutama peranan wanita Arab. "Kini wanita menyumbang 60 persen mahasiswa Arab yang menempuh pendidikan tinggi di Israel," ujarnya. "Ini fenomena bagus karena ketika wanita lebih berpendidikan mereka lebih terintegrasi dengan masyarakat."

Mendengar itu para pemuda Muslim Jerman tak lantas memiliki harapan tinggi dengan situasi di Israel. "Saya merasa lebih pesimistis," ujar Kausar, 19 tahun, anggota grup Muslim Jerman yang menolak nama belakangnya disebut.

"Intinya, ia berkata warga Israel keturunan Arab tak bisa memberi pengaruh di sistem politik," ujarnya. Kausar adalah putri seorang pengungsi Palestina dari Lebanon yang sejak kecil tinggal di Jerman.

Mereka bukan tipe delegasi Eropa pada umumnya. Sebagian dari anggota grup Muslim Jerman ini adalah anak-anak dan cucu dari pengungsi Palestina dan imigran. Beberapa dari mereka bahkan berasal dari desa-desa di Israel yang tak lagi ada. Mereka datang dengan latar belakang emosional tersendiri.

Namun yang lebih tak biasa ada seseorang yang mensponsori kedatangan mereka di Israel dan sekaligus bertanggung jawab atas mereka selama tinggal di Negara Yahudi tersebut, pemeluk Druze--sebuah agama minoritas di Israel--bernama Samuel Schidem.

Samuel, masih menurut Hareetz, tinggal di desa Isfiya di luar Haifa. Ia dipanggil oleh para partisipan, sebagian besar berusia awal 20-an, dengan sebutan Yaba ( Bahasa Arab untuk Papa).

Pria berusia 38 tahun yang pernah bertugas sebagai komandan pasukan tank satuan ternama Brigade ke-7, IDF, kini tinggal di Jerman lebih dari 10 tahun. Setelah mempelajari agama di Universitas Heidelberg, kini ia tinggal di Berlin, di mana ia menjadi dosen di Freie University.

Samuel sering salah dianggap Yahudi, padahal ia keturunan Arab murni. Alasan yang mendorong Samuel membawa delegasi Muslim Jerman ke Israel adalah keinginan untuk mengeksplorasi isu yang ia yakini bergaung kuat baik di kalangan Yahudi dan Muslim, yakni penghilangan campur tangan negara dalam perkara cinta dan pernikahan, atau lebih spesifik, dikte negara yang mencegah seseorang untuk tinggal dengan pasangan pilihannya.

Samuel melihat situasi ini ironis. Pada zaman Nazi, ada hukum yang melarang warga keturunan Jerman--yang disebut Hitler Bangsa Arya--menikahi warga Yahudi. Situasi itu mendorong keluargnya Pasal 16 Deklarsi HAM Universal PBB, yang intinya 'setiap pria dan wanita dewasa, tanpa batasan ras, bangsa dan agama, memiliki hak untuk menikah dan membentuk sebuah keluarga."

Tapi, ujarnya, hukum di Israel saat ini melarang warga Arab di Israel menikah dengan warga Palestina yang bukan warga negara Israel dan tentunya melarang mereka tinggal di Israel.

Dalam perjalanan sepuluh hari, fokus berganti tak hanya soal pernikahan dan pelanggaran HAM terhadapa warga Israel sendiri yang non Yahudi. Bagaimana tidak, isu paling besar tentu saja konflik Israel-Palestina.

Lahir di Kosovo, Dona salah satu anggota grup berusia 21 tahun sangat terganggu dengan ketiadaan situasi berdampingan antara pemeluk agama di Yerusalem. "Kalian memiliki semua tempat ibadah dari semua agama dan berdiri berdampingan satu sama lain, tapi tak ada dialog antara orang-orang ini. Anda benar-benar merasakan konflik menggenang di udara ketika kami di sana, dan itu membuat saya sangat sedih."

Fatem, 22 tahun, yang ayahnya lahir di Jaffa, Palestina mengaku galau dengan fakta kecilnya peran warga Israel keturunan Arab di politik. "Di Jerman kami selalu pergi keluar dan berdemonstrasi untuk menyuarakan pendapat, tapi sepertinya di sini di Israel, warga keturunan Arab merasa tak berarti ketika tak ada yang berubah."

Ketika grup tersebut meninggalkan Israel, harapan mereka justru lebih terpupus. "Terus terang, kami merasa harapan lebih sedikit ketimbang yang kami miliki sebelum ke mari," akunya.

Salah satu anggota grup, Wala mencoba menghindari pemikiran yang terpuruk. "Ketika nanti saya kembali ke Jerman, saya akan belajar Bahasa Ibrani," ujarnya. "Bila kita hendak membangun dialog, maka kita butuh berbicara dalam bahasa satu sama lain."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement