Selasa 18 Feb 2014 14:45 WIB

Muslim CAR Terancam Dihabisi, Prancis Diminta Jangan Pergi

Pasukan internasional asal Kongo sedang berjaga-jaga di jalanan Bangui, Republika Afrika Tengah, yang sedang berkecamuk.
Foto: EPA/Legnan Koula
Pasukan internasional asal Kongo sedang berjaga-jaga di jalanan Bangui, Republika Afrika Tengah, yang sedang berkecamuk.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGUI -- Presiden Republik Afrika Tengah (CAR), negara yang berada dalam konflik, meminta pasukan Prancis untuk tetap tinggal sampai pemungutan suara dilakukan pada awal 2015. Sebab, kekerasan sektarian terus berlanjut sehingga merusak harapan pihak Prancis untuk segera keluar dari negara itu.

"Presiden sementara Republik Afrika Tengah mengatakan kepada kami bahwa pasukan Prancis harus tinggal sampai pelaksanaan pemilihan umum, yaitu sampai awal 2015," kata anggota parlemen Prancis, Elizabeth Guigou, di Bangui, Selasa.

Ketika Prancis meluncurkan operasi Sangaris pada Desember lalu di Afrika Tengah untuk mencegah pembunuhan sektarian massal, Presiden Francois Hollande membayangkan penyebaran pasukan Prancis hanya diperlukan dalam waktu singkat.

Namun, dengan adanya kampanye besar mengenai pembersihan etnis terhadap kaum Muslim di Afrika Tengah, Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian mengakui bahwa operasi yang dilakukan pasukan Prancis itu bisa berlangsung lebih lama dari yang direncanakan.

Oleh karena itu, parlemen Prancis pada 25 Februari akan melakukan pemungutan suara untuk memutuskan apakah 2.000 tentara Prancis yang dikerahkan di Afrika Tengah dapat tinggal lebih lama dari mandat awal mereka yang berakhir pada April 2014.

Harian Amnesty International pekan lalu mengatakan bahwa para militan kelompok anti-balaka, yang sebagian besar umat Kristen, sedang berusaha untuk membasmi kelompok minoritas Muslim di negara itu.

"'Pembersihan etnis Muslim telah dilakukan di bagian barat Republik Afrika Tengah, bagian yang paling padat penduduknya, sejak awal Januari 2014," demikian dilaporkan Amnesty International.

Kelompok militan Kristen anti-balaka awalnya merupakan kelompok pertahanan diri yang dibentuk sebagai tanggapan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok pemberontak Seleka, yang sebagian besar Muslim, yang melakukan kudeta pada Maret 2013.

Dengan sedikitnya sisa anggota kelompok pemberontak Seleka sejak Perancis mengerahkan pasukannya dua bulan lalu, sebagian besar kekerasan yang berlangsung di Afrika Tengah sekarang ini lebih disebabkan oleh serangan kelompok anti-Balaka.

Oleh karena itu, Presiden sementara Samba Panza, yang mengambil alih kekuasaan dari mantan pemimpin kelompok Seleka Michel Djotodia, mengatakan pihaknya akan berperang melawan anti-Balaka.

sumber : Antara/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement