REPUBLIKA.CO.ID, NEW SOUTH WALES -- Ratusan penerjemah asal Afghanistan saat ini tengah dimukimkan di Newcastle, yang terletak di Hunter Valley, New South Wales, Australia. Para penerjemah ini sebelumnya membantu pasukan koalisi, termasuk Australia, melawan Taliban di Afghanistan.
Sebelumnya, pemerintah pusat telah mengumumkan diberikannya 800 visa istimewa bagi penerjemah asal Afghanistan dan keluarga mereka sebagai bagian dari program pemukiman kembali besar-besaran. .
Sekitar 280 visa tersebut ditujukan pada penduduk Afghanistan yang akan dimukimkan di Newcastle.
Dikabarkan bahwa sekitar 200 telah tiba di kawasan tersebut, namun sulit untuk memberi rumah bagi mereka semua. Selain itu, ABC juga mendapat kabar bahwa nasib saudara-saudara yang tertinggal di Afghanistan pun mengkhawatirkan, karena sudah ada laporan adanya serangan Taliban sebagai balas dendam atas bantuan yang diberikan para penerjemah tersebut pada pasukan Koalisi.
Ini bukan pertama kalinya Hunter Valley menampung mereka yang kehilangan tempat tinggal karena perang. Pada tahun 1999, di bawah operasi Safe Haven, sebanyak 500 orang yang mengungsi dari Kosovo ditampung di markas militer Singleton Army.
Suster Di Santleben, dari Jaringan Pendukung Pengungsi Josephite, mengatakan bahwa Newcastle memang sudah beberapa kali menampung pengungsi.
"Orang-orang ini telah mengorbankan hidup mereka bagi kita, orang Australia. Mereka memberi jasa menerjemahkan bagi pasukan Australia dan orang-orang lain di tempat-tempat yang kita kenal sebagai tempat yang berbahaya," ucapnya baru-baru ini.
Namun, ada kekhawatiran perihal tempat tinggal, terutama yang tidak diberikan oleh pemerintah. Selain itu, para penerjemah juga mengkhawatirkan saudara-saudara mereka yang masih berada di Afghabistan.
"Saya tanya pada mereka, mungkinkah suatu hari kita bisa menerbitkan foto-foto mereka. Lalu, mereka berkata, 'Kalau anda menerbitkan foto saya, besok saudara saya akan meninggal.' Memang begitulah kenyataannya. Mereka tidak bersembunyi, namun mereka meninggalkan saudara dan orangtua dan keluarga di sana, dan meskipun mereka aman di sini, keluarga mereka sama sekali tidak aman," cerita Di Santleben.