Rabu 23 Apr 2014 06:47 WIB

Dituding Membantai Warga, Ini Jawaban Gerilyawan Sudan Selatan

Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir
Foto: sudantribune.com
Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Kelompok gerilyawan di Sudan Selatan Selasa menyebut laporan PBB--yang menyatakan bahwa mereka telah melakukan pembantaian terhadap ratusan warga sipil--sebagai "kebohongan."

Laporan PBB menyatakan bahwa setelah merebut kota Bentiu pekan lalu, kelompok gerilyawan melakukan tindakan pembersihan etnis dengan memburu warga sipil yang bersembunyi di masjid, gereja dan rumah sakit untuk kemudian dibantai di jalan umum.

Namun juru bicara kelompok gerilyawan, Lui Ruai Koang, justru memuji "pasukan gallant". PBB sendiri menuduh sayap pemberontak itu telah menyeru pengikutnya untuk memerkosa perempuan dari kelompok etnik lain.

Koang mengatakan bahwa pasukan pemerintah adalah pihak yang melakukan kejahatan kemanusiaan setelah dipukul mundur di Bentiu--ibu kota provinsi kaya minyak, Unity.

Perang saudara di Sudan Selatan pecah sejak empat bulan yang lalu saat loyalis mantan wakil presiden Riek Machar memutuskan untuk mengangkat senjata saat pemimpinnya diberhentikan dari jabatan.

Perseteruan politik kemudian meluas menjadi konflik horizontal antara etnis Nuer tempat Machar berasal dengan etnis Dinka dari Presiden Salva Kiir.

Pejabat tinggi badan bantuan kemanusiaan PBB di Sudan Selatan, Toby Lanzer, setelah mengunjungi Bentiu mengatakan bahwa dia menyaksikan "pemandangan yang paling mengerikat."

"Ada puluhan mayat berjajar di jalan-jalan kota setelah sebelumnya dieksekusi si pasar dan tempat ibadah..sebagian besar dari mereka berpakaian sipil," kata Lanzer, Senin.

Di Bentiu, sekitar 23.000 penduduk sipil yang ketakutan saat ini harus hidup bersesakan di pangkalan pasukan penjaga perdamaian PBB yang sempit. Mereka harus bertahan dengan satu liter air per hari.

Kepala UNICEF di Sudan Selatan, Jonathan Veitch, mengatakan bahwa para pengungsi itu terancam kena penyakit akibat kekurangan air bersih. Satu juga orang di negara tersebut juga hampir menderita kelaparan.

Konflik di Sudan Selatan--yang merupakan negara termuda di dunia setelah merdeka dari Sudan pada 2011--telah menewaskan ribuan orang dan membuat sekitar satu juta lainnya kehilangan rumah.

Konflik bersaudara itu juga diwarnai oleh sejumlah laporan dan tuduhan kejahatan kemanusiaan oleh kedua belah pihak.

Perundingan damai antara kedua belah pihak akan kembali dilakukan pada akhir bulan ini di Etiopia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement