Kamis 24 Apr 2014 21:45 WIB

Kepala Tentara Sudan Selatan Dipecat, DK PBB Siapkan Sanksi

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Bilal Ramadhan
Sudan dan Sudan selatan
Sudan dan Sudan selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA– Presiden Sudan Selatan Salva Kiir memecat kepala tentara Jenderal James Hoth Mai, Rabu (23/4). Pemecatan dilakukan dengan pembacaan dekrit di televisi nasional yang menyatakan bahwa Mai akan dihapus segera. Alasan pemecatan tidak disebutkan.

Para pengamat mengatakan militer telah mengalami kemunduran di bagian utara negara tersebut dalam beberapa hari terakhir. Dikutip dari AFP, pada Rabu pemberontak berhasil merebut pusat minyak utama. Mereka juga melakukan pembantaian etnis yang menewaskan ratusan warga sipil di Bentiu.

Selain memecat Mai, Kiir juga memecat kepala intelejen Jenderal Paul Mach dan menggantinya dengan Jenderal Marial Nour Jok. Sementara posisi Mai disebut-sebut akan digantikan oleh Jenderal Paul Malong. Tentara Sudan Selatan telah sejak Desember memerangi pemberontakan dengan kekerasan.

Namun kini, konflik telah berkembang menjadi konflik melibatkan etnis. Kaum Dinka melawan Nuer. Kiir yang berasal dari etnis Dinka yang bersebrangan dengan mantan wakil presiden Riek Machar dari komunitas Nuer. Kiir melawan Machar yang dituduh melakukan kudeta terhadapnya. Pada Januari, upaya gencatan senjata coba dilakukan namun gagal.

Dikutip dari BBC, pengamat mengatakan pemecatan Mai mungkin saja karena masalah etnis. Panglima militer tersebut berasal dari kelompok etnis yang sama dengan pemimpin pemberontak dan Machar. Lebih dari satu juta warga sipil terpaksa mengungsi dari rumah mereka sejak kekerasan dimulai. Baik Kiir maupun Machar sama-sama memiliki pendukung setia dari beragam komunitas.

Beberapa laporan mengatakan pemberontak menargetkan para Dinka dan tentara menargetkan para Nuer. Pembicaraan damai terus diupayakan PBB. Pertemuan yang seharusnya digelar pada Rabu di Ethiopia ditunda hingga 27 April. Kepala penjaga perdamaian PBB, Herve Ladsous menganggap penundaan tersebut akibat kedua belah pihak gagal menghentikan kekerasan.

‘’Tidak satu pihak pun menyiapkan diri untuk menghentikan permusuhan. Mereka tidak menunjukan tanda bahwa mereka ingin berpartisipasi dalam pembicaraan damai ini,’’ kata dia.

Hingga saat ini, PBB menempatkan sekitar 8.500 pasukan penjaga perdamaian di negara yang melepaskan diri dari Sudan sejak 2011 itu. Pada Rabu, Amerika Serikat dan Prancis menyerukan pada Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan pemberian sanksi terhadap Sudan Selatan.

Duta Besar AS, Samantha Daya dan Duta Besar Prancis Gerard Araud mengatakan sanksi harus segera diberikan pada mereka yang bertanggung jawab. ‘’Saya pikir kita harus mempertimbangkan sanksi karena ini sangat menghebohkan,’’ kata Araud pada wartawan setelah pertemuan tertutup 15 anggota dewan, Rabu.

Skala pembunuhan di Bentiu adalah salah satu kekejaman terburuk dalam konflik selama empat bulan terakhir. Kedua belah pihak terlibat pembantaian, pemerkosaan hingga pemburuan brutal yang dilakukan ke tempat-tempat umum di sekolah bahkan tempat ibadah.

Akibat konflik ini, masalah pengungsi pun muncul seperti malnutrisi hingga penyakit. Pada umumnya menimpa anak-anak. PBB mengatakan lebih dari satu juta orang terancam kelaparan. Presiden AS Barack Obama juga memperingatkan kemungkinan AS berikan sanksi.

Di antaranya larangan visa, pembekuan aset baik untuk individu maupun lembaga yang terlibat memicu kekerasan. Human Right Watch mendesak Dewan Keamanan untuk menyelidiki pembantaian di Bentiu. Bahkan, misi PBB melindungi pengungsipun dinilai gagal ketika ketegangan meningkat. Warga sipil terus meminta perlindungan dibawah kamp PBB di luar perbatasan negara. Pada Rabu, jumlah pengungsi meningkat dari sekitar delapan ribu jiwa menjadi 22.500 jiwa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement