REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Atas desakan internasional, pemerintah Sudan Selatan dan pihak pemberontak memberi sinyal akan lancarkan gencatan senjata untuk hindari genosida.
Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan ketua pemberontak Riek Machar bertemu pada Jumat (9/5) di pusat Ethiopia, Addis Ababa untuk pertama kalinya sejak meletus kekerasan pada Desember.
Dikutip dari AFP, dua rival itu berjabat tangan dan berdoa bersama. Mereka setuju untuk secepatnya menghentikan aksi 'bermusuhan' dalam 24 jam. Hal itu dituangkan dalam perjanjian perdamaian.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Susan E Rice menyambut baik perkembangan tersebut. Dalam penyataan Jumat malam, ia mengatakan pertikaian di Sudan Selatan sudah menguras harapan di negara tersebut. Padahal seharusnya, rakyat berhak atas kemakmuran dan perdamaian.
''Kami desak Presiden Kiir dan Machar untuk menandatangani perjanjian atas nama rakyat, untuk bernegosiasi dan mengakhiri kekerasan,'' kata Rice. Ia percaya hal tersebut bisa menstabilkan politik dalam negeri.
Pengamat urusan Afrika di London, Joseph Ochieno pun optimis dengan perjanjian ini. ''Ada kemungkinan gencatan senjata ini akan berhasil,'' katanya pada Aljazirah. Mereka, tambahnya, menyadari bahwa mereka tidak akan menang satu sama lain, sehingga kedua kubu harus bekerjasama.
AS sebelumnya menjatuhkan sanksi pada dua rival Sudan Selatan baik pada pihak pemerintah maupun pemberontak. AS mengancam akan berikan sanksi lagi jika para pemimpin tidak segera lancarkan aksi damai.