REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki menolak seruan untuk pengunduran dirinya. Ia menuduh presiden baru Irak melanggar konstitusi.
Permintaan pengunduraan diri Maliki bergulir di tengah krisis politik yang semakin menjatuhkan negara tersebut. Terutama karena pertempuran dengan kelompok Negara Islam (IS), atau yang selama ini dikenal dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Sesaat sebelum pidatonya yang menantang pada Ahad (10/8), Maliki mengerahkan pasukan keamanan dan kelompok bersenjata di Baghdad. Seorang perwira polisi berpangkat tinggi mengatakan pada AFP, ada kehadiran pasukan polisi dan tentara di distrik yang berisi lembaga-lembaga kunci Irak.
"Ada kehadiran pasukan dalam jumlah besar, terutama di sekitar 'Zona Hijau'," ungkapnya. Ia mengatakan, penyebaran dimulai pada sekitar pukul 10.30 waktu setempat. Sekitar 90 menit sebelum Maliki memulai pidatonya.
Kantor berita Reuters mengutip pernyataan wakil ketua parlemen melaporka, meski Maliki mengumumkan akan niatnya kembali mencalonkan diri sebagai perdana menteri, namun sebuah kelompok yang terdiri dari partai-partai Syiah terbesar Irak justru berencana mencalonkan perdana menteri baru. Jika itu terjadi maka Maliki harus menyingkir.
Putaran terbaru pertarungan politik ini juga dianggap dapat menghambat kemajuan kelompok Sunni. Dalam pidato yang disiarkan secara nasional, Maliki mengatakan ia akan mengajukan keluhan terhadap Presiden Fouad Massoum ke pengadilan. Maliki menuduh Massoum melakukan pelanggaran konstitusi. Menurutnya, Massoum melanggar konstitusi demi tujuan-tujuan politik.
Maliki yang didominasi kelompok Syiah memenangkan kursi terbanyak dalam pemilu, April. Ia menuduh presiden Massoum mengabaikannya dengan melanggar batas waktu pada Ahad (10/8), untuk mensahkan perdana menteri dari fraksi terbesar di negara tersebut.
Berbicara di televisi Irak untuk pertama kalinya sejak serangan udara Amerika Serikat, Maliki mengatakan tindakan Massoum hanya akan memperburuk keadaan. "Pelanggaran yang sengaja dilakukan presiden akan memiliki konsekuesi serius pada kesatuan, kedaulatan dan kemerdekaan Irak," ungkap Maliki.