REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Mantan Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan menilai, semestinya Australia mencoba menghentikan negara lain mengembangkan tenaga nuklir. Karenanya dia juga menyayangkan kondisi yang terjadi malah sebaliknya, Australia malah mengekspor uranium.
Ia menambahkan, “Saya harap Australia bisa mengekspor di luar uranium atau batubara misalnya, namun energi yang bisa diciptakan melalui sumber-sumber terbarukan.”
Ketika ia menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang, mewakili Partai Demokrat Jepang, bencana tsunami yang melanda menyebabkan insiden nuklir, di mana tiga reaktor nuklir di Fukushima hancur dan memaksa adanya evakuasi massal. “Kami hampir saja menempuh skenario untuk mengevakuasi warga dalam radius 250 kilometer. Ini akan meliputi Tokyo, yang artinya 40% dari seluruh populasi Jepang – yang mendekati 50 juta jiwa,” ujarnya.
Partainya menggagas kebijakan untuk melihat energi nuklir enyah dari Jepang pada tahun 2030, namun kebijakan ini digagalkan kekuatan Demokratik Liberal, yang merebut kekuasaan pada tahun 2012.
Australia diduga memiliki sumber uranium terbesar di dunia, dan pertambangan ini berada di Wilayah Utara Australia dan negara bagian Australia Selatan, sementara Queensland baru-baru ini mencabut larangan 30 tahun atas pertambangan uranium.
Australia Barat juga tengah mencari peluang untuk mengembangkan industri uraniumnya.
Perdana Menteri Tony Abbott akan segera bertolak ke India untuk merampungkan kesepakatan penjualan uranium dengan negara Asia Selatan ini, untuk pertama kalinya.