REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Maskapai peenerbangan Virgin Australia mengalami tambahan kerugian dari kerugian setahun penuh mencapai lebih dari Rp 3,5 triliun. Kini, Virgin pun terpaksa menjual saham minoritasnya dalam progam frequent flyer Velocity.
Pihak maskapai Virgin Air mengatakan kerugian yang dialami kurang dari dari 211 juta dolar Australia atau Rp 2,3 trliun. Jumlah ini masih hampir sama dengan perkiraan pasar. Seperti halnya Qantas, tetapi pada skala yang jauh lebih kecil, jumlah ini disebabkan pengurangan aset penyerta akibat pengeluaran yang mencapai 623 miliar rupiah dan biaya restrukturisasi yang mencapai hampir Rp 1,3 triliun.
Virgin mengatakan keuntungan berkurang hingga $ 51,6 juta atau sekitar Rp 565 miliar , dari pencabutan pajak karbon. "Tahun keuangan 2014 telah menjadi masa paling sulit bagi pengoperasian maskapai dalam sejarah penerbangan Australia," ujar Direktur Utama Virgin Australia John Borghetti, baru-baru ini.
Jika Qantas memperkirakan akan kembali mendapat keuntungan pada enam bulan terakhir tahun ini, Virgin berpendapat keadaan ekonomi sangat tidak menentu. Karenanya Virgin memutuskan untuk tidak akan menyiapkan panduan pertumbuhan kapasista perusahaan.
Perusahaan ini juga menjual 35 persen saham dalam program frequent flyer Velocity. Hasil penjualan ini untuk mendanai Affinity Equity Partners. Secara keseluruhan nilai aset Velocity ini adalah $960 juta atau sekitar Rp 10 triliun sehingga nilai penjualan 35 persen saham itu bernilai 3,6 triliun rupiah.
Program Velocity ini akan dipisah menjadi perusahaan yang terpisah dengan dewan sendiri, tetapi Virgin akan mempertahankan 65 persen saham di perusahaan tersebut dan mayoritas posisi jajaran direksi, termasuk direktur akan ditentukan oleh Virgin.
Kesepakatan ini menunggu persetujuan Badan Penanaman Modal Asing. Virgin mengantisipasi kesepakatan akan selesai Oktober mendatang.
Dana yang diperoleh akan digunakan untuk menurunkan utang perusahaan dan meningkatkan posisi kas.
Sementara maskapai Qantas mengumumkan kerugian sekitar Rp 28 triliun atau tiga kali lebih buruk dari perkiraan semula, hari Kamis (28/08).