REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Amerika Serikat, Kamis, memperingatkan kemungkinan sanksi baru terhadap para pemimpin Sudan Selatan, sementara Presiden Salva Kiir melakukan perundingan di New York mengenai konflik sembilan bulan, yang memorakporandakan negara itu.
Kiir mengirim menteri luar negerinya ikut berunding di sela-sela sidang Majelis Umum PBB.
"Ada banyak ketidakpuasan yang diungkapkan dalam pertemuan di mana Sllva Kiir, yang berada di NewYork, tidak menghadiri acara itu," kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS kepada wartawan.
"Sejumlah peserta, menyatakan bahwa Salva Kiir tidak berada di sana," tambah pejabat yang tidak bersedia namanya disebutkan itu.
Washington telah memberlakukan sanksi-sanksi terhadap beberapa warga Sudan baik dari pemerintah maupun pemberontak, dan mungkin akan dikenakan lagi.
"Semua pihak yang terlibat dalam perundingan-perundingan telah mencapai kesimpulan bahwa jika pihak-pihak yang bertikai tidak mematuhi ini dengan serius, maka kami akan mengenakan sanksi-sanksi baru terhadap mereka," kata pejabat itu.
Pejabat itu menegaskan bahwa blok regional Afrika timur yang dikenal sebagai IGAD, yang telah menengahi perundingan-perundingan perdamaian, bertukar pendapat bahwa sanksi-sanksi baru mungkin perlu diberlakukan.
Pada Agustus, Kiir dan pemimpin pemberontak Riek Machar menandatangani satu perjanjian gencatan senjata baru, keempat sejak pertempuran dimulai sembilan bulan lalu, bertujuan untuk membentuk satu pemerintah persatuan pada 9 Oktober.
"Hal yang penting adalah tetangga-tetangga dan para perunding IGAD juga adalah peserta aktif dalam peraturan sanksi-saknsi itu," kata pejabat Departemen Luar Negeri.
"Mengidentifikasikan bahwa mereka sesungguhnya berada dalam situasi di mana jika perundingan-perundingan tidak lagi mengalami kemajuan merek juga akan memberlakukan sanksi-sanksi terhadap kedua pihak," katanya.
Perundingan-perundingan perdamaian dimulai kembali di Ethiopia Senin, kata para penengah, sementara pertempuran sporadis terus melanda antara para petempur pemberontak dan pasukan pemerintah di negara yang menghasilan minyak itu.
Pertempuran meletus di negara termuda itu pada Desember 2013 setelah benrokan senjata antara pasukan Kiir dan para petempur yang setia pada Machar.
Pertempuran meluas segera di seluruh negara itu dan ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia dan penyiksaan oleh kedua pihak.