REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO-- Perdana Menteri Jepang menghadapi tekanan tinggi dari kelompok oposisi terkait skandal yang melanda kabinetnya. Setelah skandal itu merebak, Shinzo Abe langsung mengganti dua menterinya pada pekan ini.
Tiga anggota kabinet lainnya yakni menteri pertahanan Akinori Eto, menteri pertanian Koya Nishikawa, dan menteri kesehatan Yasuhisa Shiozaki diduga menggunakan pengaruhnya, menggunakan donasi atau bermasalah dalam melaporkan dana politik. Namun, ketiganya menolak telah melakukan kesalahan.
"Mereka melihat kesempatan ini untuk memutar balikkan," kata mantan anggota parlemen oposisi Partai Demokrat.
Media setempat juga kembali mengingatkan saat Abe menjabat sebagai perdana menteri pada 2006-2007. Ia pun mengundurkan diri setelah dukungan terhadapnya semakin berkurang dan menghadapi kebuntuan parlemen serta masalah kesehatan.
Pada Senin, Yuko Obuchi telah berhenti sebagai menteri perdagangan dan perindustrian setelah diduga menggunakan dana politik. Beberapa jam kemudian, Midori Matsushima juga mengundurkan diri sebagai menteri kehakiman atas tuduhan pelanggaran hukum pemilu. Namun, ia membantah tuduhan ini.
Ia mengatakan harus mengundurkan diri agar tidak diberhentikan oleh pemerintahan Abe. Menurut para pengamat, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Matsushima hanyalah pelanggaran kecil, namun, ia tidak memiliki kekuatan politik. Sehingga, Abe membiarkannya mengundurkan diri.
Popularitas Abe pun langsung menurun hingga di bawah 50 persen setelah munculnya skandal itu. "Saya rasa Abe cukup baik menangani hal ini," kata Gerry Curtis, profesor Universitas Columbia. "Menarik penghalang dengan cepat merupakan langkah yang tepat dilakukan dari pada membiarkannya membusuk," katanya.
Namun, oposisi masih lemah dan Partai Demokrat Liberal (LDP) tak memiliki lawan yang jelas. Sehingga menurut para pengamat politik, Abe tak akan kehilangan posisinya. Kondisi ini pun dapat menyebabkan terganggunya rencana kenaikan pajak penjualan hingga 10 persen mulai Oktober 2015. Kenaikan pajak ini diperlukan untuk mengendalikan utang publik Jepang.