Kamis 22 Jan 2015 00:37 WIB

Mantan Kepala Intelijin Inggris Sebut Charlie Hebdo Provokasi Umat Islam

Rep: C84/ Red: Winda Destiana Putri
Redaksi Majalah Charlie Hebdo
Foto: AFP
Redaksi Majalah Charlie Hebdo

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mantan Kepala Badan Intelijin Inggris (M16), Sir John Sawers, menyatakan penerbitan kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo adalah tindakan provokasi yang dinilainya sebagai kurangnya rasa hormat terhadap agama lain di Barat.

Sawers juga sependapat dan menyatakan dukungannya untuk Paus Francis yang menentang provokator terhadap agama dan memperingatkan bahwa kekerasan atas tindakan provokasi dapat terjadi sewaktu-waktu.

Sir John menekankan bahwa pembunuhan terhadap 12 orang di kantor majalah satir itu tidak bisa dibenarkan atas dasar apapun, namun, ia berpendapat seharusnya sejumlah pihak di barat mampu menahan diri atas tindakan yang dapat mengakibatkan kekerasan.

"Saya lebih setuju dengan Paus yang menghormati agama orang lain. Jika Anda tidak menunjukkan rasa hormat maka Anda hanya akan memprovokasi kemarahan orang lain," ujarnya, seperti dilansir Independent, Kamis (22/1).

Bergabungnya sejumlah orang dari barat untuk membantu ISIS di Irak dan Suriah, dapat membuat barat lebih waspada terhadap ancaman yang dapat menyerang negaranya sewaktu-waktu. Ia juga mengatakan menangkal serangan teroris tidak semudah yang dipikirkan, bahkan ia meyakini akan ada sejumlah serangan teror yang lolos dari pengawasan Badan Intelijin negaranya.

Sir John memperingatkan tentang bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap intelijen tergantung pada tindakan yang mereka melakukan. Menurut penelitian, MI5 dan MI6 meraih 72 persen dan 64 persen kepercayaan publik, sedangkan FBI dan CIA, hanya meraup 40 persen oleh publik Inggris.

Sir John menyatakan bahwa keterlibatan CIA dalam sejumlah pembunuhan membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap badan intelijin tersebut terus menurun.

Salah satu masalah untuk CIA ialah mereka telah telah terlibat dalam operasi mematikan. "Sudah sangat jelas bahwa peran kami adalah untuk menghasilkan data intelijen. Tentu saja kami mendukung militer. Jika ada operasi kinetik yang harus dilakukan, hal itu dilakukan oleh militer di bawah otorisasi militer, dan tidak dilakukan dalam dunia intelijen. Saya pikir orang-orang memahami dan menghormati itu," katanya.

Namun, ia juga memaklumi kekhawatiran publik tentang 'pengintipan' terhadap sejumlah perusahaan teknologi yang dilakukan pemerintah. Sebelumnya, Inggris rencananya akan meminta kepada sejumlah perusahaan teknologi untuk mau membeberkan percakapan penggunanya untuk mengantisipasi aksi terorisme.

"Tentu saja ada dilema disini antara masyarakat umum, politisi dan perusahaan teknologi. Masyarakat ingin kita dapat memantau kegiatan teroris dan pelaku kejahatan lainnya, tetapi mereka juga tidak ingin privasinya diambil," lanjutnya.

Oleh karena itu, ia menilai harus ada kesepakatan yang dapat memuaskan semua pihak sebelum memutuskan melakukan aksi 'pengintipan' yang akan dilakukan pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement