REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 30 mahasiswa dari Indonesia, Australia dan Malaysia berkolaborasi dalam proyek desain arsitektur di Kampung Betawi, Setu Babakan, Jakarta Selatan. Lewat dunia teknik, mereka berusaha mengkomunikasikan perbedaan antarbudaya.
Jake Mortlock, adalah mahasiswa pascasarjana jurusan Arsitektur di Universitas Deakin, Australia. Ia adalah salah seorang dari sekitar 30 mahasiswa Arsitektur yang tergabung dalam proyek kolaborasi ‘iDiDe’ (Intercultural Dialogue Through Design) atau ‘dialog antar-budaya melalui desain’, yang dicetuskan oleh kampusnya sendiri.
Dalam proyek ini, Jake bersama puluhan rekannya dari Universitas Bina Nusantara Jakarta (BiNus) dan Universitas Islam Internasional Malaysia mengerjakan desain arsitektur sebuah pusat aktivitas budaya di Kampung Betawi, Jakarta Selatan.
Selama satu minggu, ia dan rekan-rekannya, yang terbagi dalam lima kelompok, melakukan berbagai aktivitas pengembangan desain, termasuk, mengunjungi Kampung Betawi di Setu Babakan.
Kelompok Jake sendiri mengerjakan desain bangunan yang terinspirasi dari permainan tradisional.
“Kelompok saya, kelompok 5 mengerjakan desain arsitektur pusat budaya yang terinspirasi dari permainan ular tangga, yang sering dimainkan orang Betawi,” jelasnya baru-baru ini.
Menurut pria berambut ikal ini, semua desain bangunan yang dikerjakan para mahasiswa ini terinspirasi dari budaya lokal.
Hal senada juga diutarakan Arindra Januari, mahasiswa Binus, rekan sekelompok Jake di proyek ini.
“Setelah ‘site visit’, kami baru tahu kalau bangunan Betawi itu cenderung serupa dengan lingkaran, sesuatu yang berlekuk-lekuk gitu, jadi nggak kaku. Jadi tahu, apa sih ciri khas Betawi itu,” ujar mahasiswi berkacamata ini kepada Nurina Savitri dari ABC.
Selain ular tangga, 4 desain lainnya dari para mahasiswa multibangsa ini juga mengambil akar dari budaya lokal, seperti alat musik betawi dan batik pagi-sore.
Tentu saja, dalam mengerjakan proyek antar-budaya tersebut, para mahasiswa mengalami sejumlah pengalaman berharga yang tak pernah mereka temui sebelumnya.
“Pengalaman kemarin itu seru banget, saya jadi belajar banyak. Saya jadi tahu pendekatan mana yang digunakan mahasiswa internasional. Kalau di kampus saya, pakai studio itu terbatas, dalam seminggu pakai studio cuma beberapa hari, nah kalau di sana itu, ke studio bisa tiap hari,” terang Arindra.
Sementara Megan Jones dari Universitas Deakin mengatakan, “Di sini, kami belajar desain dan arsitektur langsung dari lapangan. Karena arsitektur tak melulu soal teknik, tapi juga memahami budaya sekitar. Banyak masukan soal konsep tradisional dari teman-teman kami di BiNus.”
Lain lagi cerita Fathin Aqila dari Universitas Islam Internasional Malaysia.
“Sebelum tiba di Jakarta, kami yang dari Australia dan Malaysia sempat berkunjung ke Bali dan Yogyakarta. Di Bali, saya terkesan dengan ‘green school’ yang seluruh bangunannya terbuat dari bambu. Kalau di Jakarta, saya belajar banyak tentang masyarakat Betawi, betapa mereka sangat mencintai festival,” celoteh mahasiswi berjilbab ini ketika ditemui Nurina Savitri di kampus BiNus.
Menurut Susan Ang, pemimpin proyek ‘iDiDe’ yang juga dosen senior di Fakultas Arsitektur Universitas Deakin Australia, pengalaman-pengalaman sosial dan budaya semacam itulah yang diinginkan dari program yang sudah dimulai dari tahun 2010 dan baru perdana dilakukan di Indonesia ini.
“Program ini dibuat karena terinspirasi identitas asli saya, Asia. Banyak sekali yang kita bisa lakukan di Asia. Di sini kami menggabungkan proyek sosial dan teknik. Nah dari program ini mahasiswa bisa belajar mengenai desain dan budaya, sekaligus mereka bisa bertukar informasi dan ilmu seputar dunia arsitektur dan bangunan,” kemukanya.
Tak hanya pengalaman seru, para mahasiswa Australia-Indonesia-Malaysia ini juga menemui beberapa tantangan.
“Bahasa, itu salah satu tantangannya,” ujar Aspin Campbell, mahasiswa Deakin, yang juga diamini oleh kedua rekan sebangsanya, Megan dan Jake.
Arindra dari BiNus dan Aqila dari Malaysia-pun juga membenarkan adanya kendala bahasa.
“Awalnya saya takut dengan perbedaan bahasa, apalagi ada perbedaan budaya juga, tapi akhirnya ini bukan persoalan besar,” ujar Arindra.
“Bahasa Inggris bukan bahasa ibu saya, terus terang memang sempat ada kendala tapi secara garis besar diskusi kami berjalan baik-baik saja,” sahut Aqila.
Namun selain bahasa, Arindra juga menemui tantangan lain.
“Selain waktu seminggu mengerjakan proyek yang sangat terbatas, anak-anak Deakin itu sangat moderen, sementara dari BiNus, pendekatannya tradisional, karena di sini kami banyak diajarkan konsep tradisional.”
“Lalu dalam pembahasan konsep desain, kami (mahasiswa Indonesia) sempat merasa ‘ini kayanya terlalu moderen deh’. Nah disitu lumayan cekcok-nya,” ceritanya sambil menambahkan bahwa diskusi hangat itu akhirnya berujung dengan damai dan konstruktif karena para mahasiswa mengedepankan semangat belajar dan pertemanan.
"Terlepas dari tantangan yang ada, selama seminggu di BiNus, kami banyak menghabiskan waktu di studio dari pagi sampai malam, begadang, itu sih yang nggak terlupakan, kami sama-sama begadang di kampus,” kisahnya riang.
Semangat pertemanan itu pula yang digarisbawahi oleh Megan. “Memang kami ada kendala bahasa, tapi dalam soal desain, kami berusaha menemukan banyak kesamaan, karena desain itu universal,” tuturnya yang lantas mendapat anggukan dari Jake dan juga Aspin.
Susan dari Deakin mengatakan, karya desain dari para mahasiswa 3 negara ini dipamerkan di depan sejumlah pejabat dari Kedutaan Besar Australia dan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, dan diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah DKI Jakarta untuk mengembangkan Kampung Betawi lebih lanjut.