Senin 06 Apr 2015 20:45 WIB

Kondisi Lingkungan Australia Ubah Gen dan Picu Warganya Rentan Alergi

Red:
  Bagi kebanyakan orang musim semi merupakan musim orang bersin, pilek dan demam serbuk sari.
Foto: abc news
Bagi kebanyakan orang musim semi merupakan musim orang bersin, pilek dan demam serbuk sari.

REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA BARAT -- Kondisi lingkungan di Australia ternyata kemungkinan berperan memicu perubahan genetik dan membuat warganya semakin rentan terhadap alergi seperti demam serbuk bunga. 

Demikian kesimpulan peneliti Brad Zhang dari Universitas Curtin di  Australia Barat yang menyelidiki mengapa warga Australia tercatat sebagai penderita alergi dan demam serbuk sari (hayfever) tertinggi di dunia.
 
Studi terbaru ini dipresentasikan dalam pertemuan ilmiah tahunan dari Masyarakat Torakalis Australia dan Selandia Baru, mengungkapkan bahwa sesuatu di lingkungan Australia mengubah cara kerja tubuh manusia dan membuat mereka lebih mungkin untuk flu ketika musim semi datang.
 
Zhang kemudian menguji kejadian hayfever dalam kelompok imigran Cina yang baru tiba dengan imigran yang sudah tinggal di Australia selama lebih dari dua tahun.
 
Dia menemukan perubahan, yang dikenal dengan sebutan sebagai "metilasi" dalam struktur genetika dari kelompok yang tinggal di Australia  dalam jangka panjang.
 
"Kami tahu dalam 50 tahun terakhir, keunggulan teknologi untuk mengatasi alergi asma telah meningkat secara signifikan di negara-negara Barat," katanya baru-baru ini.
 
"Kita banyak melakukan riset mengenai asma tapi kita masih belum tahu penyebabnya, mengapa alergi asma sangat tinggi kasusnya di negara berkembang,” katanya.
 
Sebagian dari riset Zhang adalah berusaha untuk mengetahui kondisi di lingkungan negara-negara barat yang dapat menyebabkan meningkatnya alergi. Dia mengatakan salah satu teori yang populer adalah tingkat bakteri didalam makanan dan air di negara-negara maju lebih rendah.
 
Jika warga tidak terpapar dengan kandungan bakteri, maka kerentanan mereka terhadap alergi di kemudian hari didalam hidupnya akan terdampak. Namun dia mengatakan perlu dilakukan riset lebih lanjut terhadap teori ini.
 
"Saat ini kita belum punya bukti yang sangat kuat , antara lain mengenai gen mana yang menjadi gen penentu dalam menentukan kerentanan terhadap alergi tersebut,”
 
"Ini merupakan pertanyaan yang sangat sulit, karena ketika Anda menguji jutaan penandan dalam satu populasi kecil kita perlu mempertimbangkan isu perbandingan ganda,”
 
"Saat ini bagi kita, kita hanya memastikan hal yang global terhadap semua tren keseluruhan,”
 
Berdasarkan data Klinik Imunologi dan Alergi Masyarakat Australasia, hampir 20 persen populasi di kawasan Australasia menderita penyakit alergi dan tingkat kejadiannya semakin meningkat. Biaya perawatan rumah sakit untuk kasus asma parah dan mengancam keselamatan jiwa meningkat 4 kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.
 
Studi epigenetic atau studi faktor eksternal dari ekspresi genetika bisa membuka pintu untuk menemukan cara mengobati dan berpotensi menghapuskan demam serbuk sari dan alergi-alergi yang lain.
 
Riset ini juga didukung oleh Universitas Australia Barat.
 
 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement