REPUBLIKA.CO.ID, ADELAIDE -- Dua mahasiswa asal Irak yang tengah menimba ilmu di Universitas Flinders, Adelaide, berhasil menciptakan teknologi SAR baru berupa alat yang dapat mendeteksi tanda-tanda kehidupan dengan menggunakan kamera jarak jauh.
Insinyur Laith Al-Shimaysawee dan Ali Al-Dabbagh saat ini tengah menjalani studi untuk gelar master mereka di Australia Selatan. Keduanya merupakan mahasiswa penerima beasiswa dari Pemerintah Irak yang dikirim belajar ke luar negeri.
Pengawas kedua mahasiswa Irak ini di Universitas Flinders, Adelaide, Doctor Nasser Asgari, mengatakan teknologi yang diciptakan oleh kedua mahasiswa ini telah dikembangkan untuk membantu operasi SAR dan situasi beresiko tinggi lainnya.
"Ada bisa menggunakan robot, atau petugas SAR untuk membawa alat ini dengan cukup meletakkannya di kepala," jelasnya baru-baru ini.
"Alat ini bisa digunakan sebagai helm petugas SAR, atau bisa juga dipakaikan ke kepala anjing pelacak. Pokoknya bisa digunakan dengan berbagai macam cara untuk skenario penyelamatan yang sulit sekalipun, seperti bangunan yang roboh atau struktur yang tidak stabil. Alat ini bisa mendeteksi kehidupan dan melaporkan kembali ke petugas penyelamat," paparnya.
Menurut Asgari, sistem ini akan melakukan satu kali pemindaian dan kemudian akan melaporkan jika menemukan sesuatu atau tidak, sebelum berpindah ke lokasi lainnya.
"Jadi tidak memindai ke sana kemari dan menghabiskan waktu berjam-jam. Alat ini juga dapat membedakan antara suatu objek masih hidup atau sudah mati," katanya.
Saat ini teknologi serupa yang ada butuh ratusan sampel untuk diproses dan dibandingkan, sebelum bisa mendeteksi keberadaan seseorang. Tapi dengan alat yang diciptakan mahasiswa Irak ini, diyakini prosesnya bisa dilakukan lebih cepat.
"Kami mengembangkan teknologi ini sehingga menggunakan sampel yang lebih sedikit, misalnya sistem serupa yang ada saat ini di dunia terkadang mereka menggunakan 500 sampai 1000 sampel," kata Al-Dabbagh.
"Dengan sistem yang kami ciptakan alat kami hanya butuh 8 sampel," jelasnya kepada ABC.
Dr. Asgari mengatakan penggunaan sampel yang lebih sedikit membuat upaya pendeteksian menjadi lebih cepat.
"Ini merupakan algoritma tercepat yang bisa kami hasilkan, sementara sistem yang lain lebih lambat daripada sistem ini sedangkan tingkat keakuratannya sistem kami jauh lebih baik dibandingkan alat lain," katanya.
Kedua mahasiswa ini akan kembali ke Irak akhir tahun 2015, dan berharap dapat menggunakan teknologi yang diciptakannya di Universitas Flinder untuk membantu keperluan militer Irak.
"Kelompok teroris saat ini sering menempatkan bom di dalam rumah. Lalu meninggalkannya begitu saja. Ketika tentara masuk ke rumah itu, maka bom itu akan meledak," kata Al-Dabbagh.
"Karenanya mereka bisa menggunakan salah satu robot ciptaan kami ini untuk melakukan tugas pemeriksaan seperti itu," tambahnya.
Sementara Al-Shimaysawee mengatakan mereka ingin membantu negaranya. "Kami ingin membantu negara kami, degan menyelamatkan nyawa orang karena sebagaimana Anda tahu situasi saat ini di sana tidak bagus," katanya.
Al-Shimaysawee mengatakan dia berterimakasih dan merasa beruntung bisa belajar di Australia. "Di Irak saat ini banyak insiyur muda, mereka hanya perlu kesempatan dan dukungan. Mereka dapat melakukan apa saja untuk membantu Irak," katanya.
Alat ciptaan mereka ini akan dipublikasikan di Konferensi Robotik Internasional di Dubai bulan depan.