Jumat 08 May 2015 11:06 WIB

Lebih Banyak Warga Australia Memilih tak Memboikot Indonesia

Red:
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (kiri) berjabat tangan dengan Duta Besar Australia Paul Grigson (kanan) saat bertemu di Ruang Kerja Ketua MPR, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (26/3).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (kiri) berjabat tangan dengan Duta Besar Australia Paul Grigson (kanan) saat bertemu di Ruang Kerja Ketua MPR, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (26/3).

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Setelah sempat beredar boikot Bali dan Indonesia di jejaring sosial, sebuah lembaga survei di Australia justru mendapatkan jawaban yang berbeda. Jumlah mereka yang tak ingin pergi dan berbisnis dengan Indonesia lebih sedikit, dibandingkan mereka yang tetap memilih berlibur dan membeli produk Indonesia.

Lembaga Lowy Institute yang berbasis di Sydney melakukan survei lewat telepon kepada lebih dari 3.500 warga Australia.

Mereka dimintai pendapat soal hubungan diplomatik antara Australia dengan Indonesia, terutama setelah pemerintah Indonesia mengeksekusi mati dua warga Australia yang terlibat dalam upaya penyelundupan narkoba dari Indonesia ke Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Jajak pendapat ini juga mengungkapkan bahwa eksekusi mati akan memiliki dampak kecil bagi warga Australia yang hendak berpergian atau melakukan bisnis dengan Indonesia.Masih banyak warga Australia anggap pentingnya hubungan dengan Indonesia.

Masih banyak warga Australia anggap pentingnya hubungan dengan Indonesia.

Di bulan Februari lalu, sejumlah pengguna jejaring sosial, terutama Twitter memberikan seruan untuk memboikot Bali dan Indonesia. Setelah eksekusi mati duo Bali Nine, Lowy melakukan survei tambahan di awal bulan Mei untuk menanyakan hal ini.

63 persen dari responden mengatakan keputusan eksekusi tidak akan memberikan perbedaan bagi mereka untuk tetap berpergian ke Bali atau ke Indonesia. Mereka yang mengatakan cenderung memilih tidak berpergian ke Indonesia berjumlah 34 persen.

Sementara 71 persen menyatakan eksekusi mati tidak akan mempengaruhi keputusan mereka untuk membeli barang-barang Indonesia. 25 persen menyatakan cenderung tidak membeli produk-produk Indonesia.

Mayoritas responden, sekitar 76 persen juga menyatakan eksekusi mati yang dijatuhkan kepada warga Australia tidak akan berpengaruh bagi perusahaan Australia untuk tetap melakukan bisnis dengan Indonesia.

Dari laporan Lowy Institute yang didapatkan oleh ABC, kebanyakan para responden memilih agar pemerintah Australia menanggapi hubungan diplomatik yang lebih terkendali dengan Indonesia.

"Terlepas dari kecaman keras untuk eksekusi mati bagi penyelundup obat-obatan, sepertinya warga Australia menganggap perlu hati-hati dalam mengambil tindakan terhadap Indonesia sebagai respon eksekusi Myuran Sukumaran dan Andrew Chan," ujar Dr Michael Fullilove, Direktur Eksekutif Lowy Institute dalam pernyataannya baru-baru ini.

Setelah penarikan Duta Besar Australia untuk Indonesia, pandangan kebanyakan responden adalah bahwa hubungan diplomatik dengan Indonesia sebaiknya ditangguhkan hanya sementara saja.

Lantas untuk berapa lama Australia sebaiknya menangguhkan hubungan diplomatik dengan Indonesia? Hanya sepertiga dari responden menganjurkan lebih dari empat bulan. Mayoritas, sekitar 51 persen, mengatakan bahwa hubungan diplomatik normal sebaiknya hanya ditangguhkan selama satu sampai empat bulan.

Soal eksekusi mati terhadap mereka yang terlibat dalam perdagangan narkoba, lebih dari setengah responden menyatakan sebaiknya para narapidana yang terkait narkoba tidak dieksekusi mati. Jumlah ini masih hampir sama dengan hasil survei yang dilakukan pada pertengahan Februrari.

Hasil ini seolah menjadi cerminan bahwa Australia masih tetap menolak segala jenis hukuman mati. Hanya 25 persen responden yang menyatakan sebaiknya para terpidana kasus narkoba dihukum mati.

Sementara itu, 51 persen responden menganggap pemerintah Australia harus berperan lebih banyak agar mendorong penghapusan hukuman mati di seluruh dunia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement