Rabu 13 May 2015 21:32 WIB

Pajak ‘Backpacker’ Dinilai Hambat Industri Pariwisata Australia

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Para turis ‘backpacker’ (berbujet rendah) yang bekerja di Australia berujar, mereka tak mungkin pergi jauh atau tinggal selama mungkin di Australia. Kondisi ini terjadi setelah Pemerintahan Tony Abbott memangkas ambang bebas pajak dari penghasilan mereka hampir senilai 20 ribu dolar (Rp 200 juta).

Mulai Juli 2016, turis dengan visa liburan kerja akan harus membayar 32,5 sen (atau sekitar Rp 3250) pajak untuk setiap dolar yang mereka hasilkan, hingga nominal 80 ribu dolar (atau Rp 800 juta).

Saat ini, pemegang visa liburan kerja bisa diperlakukan sebagai penduduk untuk tujuan pajak jika mereka berada di negara itu selama lebih dari enam bulan.

Perubahan ini bisa memberi Pemerintah Australia pendapatan senilai 540 juta dolar (atau sekitar Rp 5,4 triliun) selama empat tahun ke depan.

Di Tasmania saja, sekitar 50 ribu turis backpacker tercatat mengunjungi negara bagian ini setiap tahunnya.

Ketua Dewan Industri Pariwisata Tasmania, Lukas Martin, mengatakan, memaksakan pajak pada wisatawan pekerja akan membuat mereka kabur ke Selandia Baru.

"Saya pikir akan ada banyak orang di pasar pariwisata muda yang benar-benar menggaruk kepala mereka atas keputusan itu," ujarnya baru-baru ini.

Ia menerangkan, "Jika Anda menjadi turis backpacker dan ingin liburan sambil bekerja dan Anda sedang memilih antara Australia atau Selandia Baru, sekarang Anda melihat Australia [dan] Anda akan dikenakan pajak 35 sen tiap satu dolarnya, sementara di Selandia Baru Anda membayar pajak sebesar nol."

Turis Backpacker asal Inggris, James Webdale, telah bekerja dan berlibur di Australia selama tujuh bulan.

Pada waktu itu, ia telah bekerja di sebuah peternakan kuda di negara bagian Victoria, sebagai pemandu wisata di Byron Bay di utara New South Wales, dan ia saat ini bekerja di penginapan di Gold Coast.

Pemuda 25-tahun itu mengatakan, perubahan ini akan berdampak pada orang dengan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan lebih rendah.

"Para wisatawan cukup tertekan karena uang seperti itu, sehingga ini akan sulit bagi mereka, dan seperti saya, saya akan mendapat penghasilan lebih sedikit," ujar James.

Ia mengeluhkan, "Cukup sulit untuk mencari pekerjaan tetap sehingga dalam jangka waktu Anda menemukan pekerjan itu, akan sangat sulit untuk menabung agar bisa keliling Australia."

Amy Cox, dari Nottingham di Inggris, -pun setuju.

"Ini akan menghentikan kami dari aktivitas berkeliling sejauh mungkin karena kami mengandalkan uang bebas pajak itu untuk jalan-jalan," katanya.

Perempuan berusia 23 tahun ini tiba di Australia pada Oktober lalu dan telah bekerja di kebun anggur dekat Perth, dan di sebuah kebun pembibitan pohon dekat kota Donnybrook, Australia Barat.

Tinggal di sebuah hostel, Amy mengatakan, ia memahami mengapa Menteri Keuangan Australia membuat keputusan itu, meskipun akan menyakiti turis sepertinya.

"Jika Anda bekerja, Anda harus membayar pajak, itulah yang diajarkan kepada saya selama ini,” tuturnya.

Warga Taiwan, Ryan Hsu, datang ke Australia dengan visa kerja tujuh tahun yang lalu.

Sekarang ia telah menjadi penduduk tetap, ia percaya, orang-orang akan tetap datang ke Australia pada hari libur, seperti yang ia lakukan, karena mereka ingin mengeksplorasi.

Tapi ia juga berpikir, keputusan Pemerintah Federal akan berdampak pada pekerja di luar negeri.

"Tapi ini aturan pemerintah, sehingga Anda tak bisa berbuat apa-apa," kata Hsu.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement