Kamis 04 Jun 2015 13:00 WIB

Ekonomi Cina Melambat, Australia Alami Defisit Perdagangan Rp 39 Triliun

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Australia telah mencatat defisit perdagangan bulanan terburuk dalam sejarah, dengan total impor melebihi ekspor hampir sebesar 3,9 miliar dolar (atau Rp 39 triliun).

Data Biro Statistik Australia menunjukkan, defisit 3.888 juta dolar (atau Rp 38,8 triliun) pada bulan April lalu naik tipis dari rekor sebelumnya pada bulan Februari 2008, yakni sebesar 3.881 juta dolar (atau Rp 38,1 triliun), saat harga komoditas merosot selama puncak krisis keuangan global.

Hasil ini mengejutkan para ekonom, yang telah memperkirakan hasil buruk tetapi tak seburuk data sebenarnya.

Perkiraan dalam survei Reuters menyebut defisit 2.25 miliar dolar- yang hampir mencapai dua kali defisit perdagangan bulan sebelumnya.

Hasil sebenarnya ternyata 3 kali lipat lebih dari defisit musiman bulan Maret- yang telah direvisi- yakni sebesar 1.231 juta dolar (atau Rp 12,31 triliun).

Nilai ekspor barang dan jasa turun 6%, atau lebih dari 1.56 miliar dolar (atau Rp 15,6 triliun), yang disesuaikan secara musiman, sementara nilai impor melonjak 4%, atau hampir senilai 1,1 miliar dolar ( Rp 11 triliun).

Para pedagang bereaksi terhadap kejutan negatif ini dan penjualan ritel yang mengecewakan dengan menjual dolar Australia, yang turun dari sekitar 77,8 sebelum pembukaan jam 11:30 (waktu Melbourne) ke 77,1 tak lama setelah itu terhadap dolar Amerika.

Ekonom JP Morgan, Tom Kennedy, menggambarkan data perdagangan itu sebagai sebuah "bencana", seraya menyebut bahwa ini menjadi defisit terbesar setelah tahun 1971.

Kepala ekonom UBS, Scott Haslem, menunjukkan bahwa beberapa defisit selama krisis keuangan global- sebagai proporsi ekonomi –lebih buruk, yang kemudian telah berkembang sejak saat itu.

"Data perdagangan hari ini memukul pelaku pasar, dengan realitas jatuhnya perdagangan Australia," sebutnya mengacu pada rasio harga yang Australia dapatkan untuk ekspor dibandingkan apa dibayarkan untuk impor, yang jatuh 2,9% lagi pada kuartal Maret.

Hambatan terbesar pada ekspor berasal dari batu bara dan bijih besi.

Kategori ABS- yang meliputi batubara- merosot 22%, atau sebesar 859 juta dolar (Rp 8,59 triliun), sedangkan kategori bijih logam dan mineral didominasi oleh penurunan bijih besi sebanyak 13%, atau senilai 808 juta dolar (Rp 8,08 triliun).

Untuk bijih besi, jatuhnya nilai ini disebabkan penurunan kecil dalam jumlah yang dikirim dan penurunan besar dalam harga yang diterima dari ekspor tersebut.

Untuk batubara, kemerosotan jauh lebih parah disebabkan penurunan tajam dalam volume ekspor, sementara harga sedikit jatuh.

Ekonom senior NAB, David de Garis, mengatakan, data tersebut adalah refleksi dari perlambatan dan transisi pada perekonomian China.

"Ini menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi China mempengaruhi jumlah uang tunai yang masuk ke ekonomi Australia. Berarti pertumbuhan ekonomi sedikit lebih lambat dan pertumbuhan pendapatan lebih lambat juga," terangnya baru-baru ini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement