REPUBLIKA.CO.ID, N'DJAMENA -- Pemerintah Chad telah mengumumkan pelarangan cadar atau burqa, setelah bom bunuh diri terjadi di ibu kota negara awal pekan ini. Perdana Menteri Chad, Kalzeube Pahimi Deubet mengatakan pada Rabu (17/6) militan telah menggunakan jilbab sebagai kamuflase.
Deubet menambahkan, larangan itu akan diterapkan di mana-mana, tidak hanya di tempat-tempat umum. Setiap pakaian yang menutupi sekujur tubuh kecuali mata akan dianggap kamuflase. Pasukan keamanan akan mulai membakar semua cadar yang dijual di pasar.
"Bahkan, burqa dijual di pasar akan ditarik," kata Deubet dalam sebuah komentar yang dilaporkan oleh Reuters, dilansir dari IBTimes, Kamis (18/6).
Perdana menteri bertemu dengan para pemimpin agama di negara itu Rabu kemarin untuk membahas langkah tersebut. Pada hari yang sama pemerintah juga mengumumkan telah menangkap lima tersangka yang dituduh terlibat dalam pemboman di kota N'Djamena yang menyebabkan sedikitnya 34 orang tewas.
Pemboman yang terjadi di depan markas dan akademi polisi ini merupakan serangan pertama di ibu kota Chad. Pihak berwenang menyalahkan kelompok militan Nigeria Boko Haram atas serangan tersebut. Mereka menuduh Boko Haram melakukan serangan balasan karena peran utama Chad dalam melawan kelompok itu.
N'Djamena berfungsi sebagai pusat komando untuk satuan tugas Afrika yang terdiri dari pasukan negara tetangga Nigeria, Niger, Kamerun dan Benin.
Data Factbook CIA menunjukkan sekitar 53 persen penduduk Chad adalah Muslim. Burqa yang dikenakan di Chad terutama lantaran alasan agama. Namun, beberapa perempuan juga mengenakannya untuk melindungi diri dari iklim Sahara yang panas dan berdebu. Larangan datang hanya beberapa pekan setelah Kongo menerapkan larangan serupa yang diklaim untuk melawan ekstremisme.