Selasa 30 Jun 2015 16:58 WIB

Perusahaan Tambang Australia Makin Sering Diserang Hacker China

Red:
Sejumlah eksekutif perusahaan tambang mengambil langkah pencegahan ekstra ketika berbisnis di China.
Foto: Reuters
Sejumlah eksekutif perusahaan tambang mengambil langkah pencegahan ekstra ketika berbisnis di China.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sejumlah perusahaan tambang Australia mengatakan, mereka semakin waspada akan upaya peretas atau ‘hacker’ yang coba mengakses informasi sensitif perusahaan. Beberapa eksekutif, kini, mengambil tindakan pencegahan ekstra ketika berbisnis di China.

Sebuah laporan yang diterbitkan Ernst & Young (E & Y) tentang risiko terbesar yang dihadapi perusahaan tambang, untuk pertama kalinya, mencatat keamanan cyber atau dunia maya sebagai salah satu keprihatinan terdepan yang tengah dihadapi industri ini.

Survei sebelumnya di sektor ini, yang dilakukan pada tahun 2008, tak mencantumkan hacker sebagai risiko teratas dalam melakukan bisnis.

Tapi sebuah studi E & Y yang dilakukan tahun lalu menemukan, 65% dari perusahaan tambang mengalami peningkatan ancaman cyber selama periode 12 bulan.

"Keamanan Cyber berdampak pada bisnis sekarang ini," kata CEO Dewan Sumber Daya Queensland, Michael Roche baru-baru ini.

Ia mengatakan, sejumlah eksekutif sangat waspada tentang ancaman dari mitra dagang terbesar Australia itu.

"Jika Anda seorang CEO perusahaan sumber daya asal Australia yang masuk ke China, misalnya, Anda jangan membawa ‘gadget’ Anda ke China," sebutnya.

Tapi bukan hanya hacker asing yang menyebabkan gangguan.

Simon Bennison, CEO Asosiasi Perusahaan Pertambangan dan Eksplorasi, mengatakan, hacker rumahan dengan agenda non-komersial juga menyebabkan masalah.

"Kami punya sejumlah contoh dari orang-orang yang telah meretas dan meminta tebusan kepada perusahaan, [mengatakan] jika mereka ingin database mereka kembali, mereka harus membayar sejumlah X dolar dan sebagainya," ungkapnya.

Sementara perusahaan tambang didesak untuk serius berinvestasi di pertahanan IT mereka, laporan itu memperingatkan bahwa ancamannya semakin canggih.

Para pakar keamanan cyber-pun setuju.

"Direktur intelijen nasional di Amerika Serikat telah memperingatkan bahwa serangan akan lebih parah dan dampaknya, bahwa serangan akan berubah dari pencurian data sederhana ke manipulasi data," sebutnya.

Ia mengatakan, laporan Pemerintah Australia tentang kebijakan keamanan cyber yang diterbitkan bulan berikutnya seharusnya menandakan inisiatif baru yang penting untuk meningkatkan kesadaran dan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk melindungi data mereka.

"Pemerintah memiliki peran yang sangat besar, tapi bagian terbesar akhirnya terletak pada perusahaan swasta dan masing-masing warga negara,” utara Simon.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement