Senin 19 Oct 2015 04:51 WIB

Pengungsi Muslim Gunakan Budaya Cegah Radikalisasi di Keluarganya

Anak-anak di Keluarga Saidi didorong untuk membentuk opini dan membaginya dengan seluruh anggota keluarga dalam pertemuan keluarga mingguan.
Foto: abc
Anak-anak di Keluarga Saidi didorong untuk membentuk opini dan membaginya dengan seluruh anggota keluarga dalam pertemuan keluarga mingguan.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sebuah keluarga pengungsi muslim asal Kongo, Afrika mencontoh budaya warga Australia untuk menjaga anak-anaknya yang masih remaja tidak menjadi sasaran kegiatan radikalisasi oleh kelompok ekstrem.

Keluarga ini menggelar konferensi keluarga setiap Jumat malam.

Konferensi keluarga ini sudah berlangsung selama delapan tahun terakhir didalam keluarga Rizki Saidi. Ia mengaku konferensi keluarga ini bukan hal yang mudah diterapkan.

Hal itu lantaran di Afrika, tempat mereka berasal, anak-anak dilarang berbicara terutama di depan orang tua mereka.

 

Tapi Ia dan istrinya Mwajemi Hussein selalu mendorong anak-anaknya bebas mengungkapkan pendapat dan semua melakukan perannya dalam pertemuan tersebut.

 

"Kami sudah melakukan ini selama 8 tahun, kami pernah mencoba melakukannya di waktu makan malam dan akhir pekan tapi tidak berhasil, jadi kami sepakat melakukan konferensi ini setiap Jumat malam,” kata pasangan ini bersama-sama.

 

Setiap pekan salah satu dari anak-anak mereka dipilih sebagai pembicara, sementara yang lain berperan sebagai pemandu konferensi semebtara yang lainnya bertindak sebagai pengkritik. Setelah memaparkan topik yang dipilihnya semua orang saling mendebatkan gagasan yang dipilih oleh pembicara.

 

Tidak ada topik yang tabu untuk dibicarakan dalam konferensi keluarga Saidi, tidak terkecuali radikalisasi. Seperti yang dipilih oleh anak pasangan ini yang berusaia 15 tahun, Hemedi, pada Jumat lalu.

 

Menurut Hemedi, Ia ingin membahas soal insiden penembakan petugas polisi Curtis Cheng oleh remaja Muslim di Parramatta.

 

"Kita memilih topik ini karena acara yang baru terjadi belakangan ini tidak hanya terjadi di Australia saja tapi juga secara global.”

 

“Ini merupakan masalah besar yang dapat menyusup ke keluarga mana saja, karenanya perlu kita bahas dan hadapi,” katanya.

 

Hemedi meyakini keluarga memiliki peran dalam mencegah radikalisasi tapi dia juga menjunjung tinggi kebebasan individu untuk memilih.

 

"Saya kira saya sangat cocok dengan masyarakat Australia, terutama karena ini adalah negara yang multikultur,” katanya lagi.

 

"Jika semua membiarkan dirinya melebur maka mereka bisa merasa cocok dan menjadi bagian dari bangsa ini dan saya sangat bersyukur untuk hal itu,”

 

Anak Saidi yang lain Ibrahim Saidi (21) mengatakan saat ini perekrut  ISIS sangat mudah menjangkau anak-anak muda, meski mengaku dalam kasus penembakan oleh Farhad Khalil Mohammad Jabar di kantor polisi Parramatta police cukup sulit.

 

"Terutama pelaku baru berusia 15 tahun, sulit mengetahui apa dia mengenal kelompok kiri dari Facebook atau di sekolah,”

 

Ibrahim Saidi juga menilai orang-orang dari kelompok masyarakat Afrika sudah keluar dari jalur, jadi menurutnya sangat penting untuk tetap menjaga komunikasi dan hubungan.

 

Dalam konferensi diinternal keluarganya, Saidi membahas tentang psikologi radikalisasi, penggunaan dan penyalahgunaan Islam dan mengapa ISIS bisa membujuk anak-anak muda muslim.

 

Keluarga Saidi merupakan keluarga muslim yang berasal dari Kongo, Afrika. Mereka tercerabut dari kampungnya akibat perang sipil dan pernah tinggal di berbagai kamp pengungsi hingga akhirnya bersatu di Australia.

 

Rizki Saidi mengatakan dirinya yakin dengan mendorong anak-anaknya dapat mengemukakan pendapatnya seperti yang kental dilakukan oleh orang-orang di Australia telah memberi banyak perubahan pada anggota keluarganya.

 

Sementara itu Psikolog Perkembangan Julie Robinson mengatakan salah satu langkah pertama dalam radikalisasi adalah untuk  memblokir orang-orang muda dari pandangan dari dunia yang lain.

 

"Satu hal yang Anda tidak akan dengar dari kelompok radikal seperti ISIS atau kultus apapun, adalah bahwa keputusan yang sangat penting itu bisa mempengaruhi sisa hidup Anda jadi pastikan Anda berbicara dengan orang dewasa yang terpercaya," katanya.

 

Meskipun terdengar seperti sesuatu yang hanya terjadi dalam serial keluarga di TV Brady Bunch, Robinson mengatakan ada banyak hal bukti seperti pertemuan keluarga, atau waktu makan keluarga bisa efektif mencegah radikalisasi.

 

"Percakapan dalam keluarga seperti dalam serial Brady Bunch, mungkin merupakan gambaran yang ideal dan realistis. Tapi Kami sekarang memiliki bukti pertemuan semacam ini efektif diterapkan untuk mencegah kesehatan mental, melindungi kaum muda dari kenakalan, melindungi kaum muda dari penyalahgunaan narkoba dan untuk melindungi mereka dari radikalisasi.

 

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/2015-10-18/keluarga-pengungsi-muslim-gunakan-budaya-australia-untuk-cegah-radikalisasi-di-keluarganya/1504636
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement