REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Serangan di sejumlah fasilitas umum di Paris pada Jumat (13/11) waktu setempat yang menewaskan hingga sedikitnya 127 orang dinilai sebagai kegagalan kerja intelijen.
"Meski mengejutkan, serangan itu tidak sepenuhnya mengherankan," ujar seorang analis dilansir Bloomberg. Hal itu tak mengejutkan karena banyak warga dari Prancis dan negara Eropa lain masuk Suriah untuk bergabung dengan kelompok ekstremis di negara tersebut. Serangan terhadap Charlie Hebdo pada Januari lalu di Prancis juga menunjukkan bahwa ada risiko nyata serangan teroris di Eropa.
Pemerintah Prancis dinilai mendapat kritik yang beberapa analis menyatakan sebagai kegagalan keamanan. "Serangan semacan ini merupakan sebuah kegagalan intelijen," ujar Kepala International Centre for Political Violence and Terrorism Researc di Singapura, Rohan Gunaratna.
Menurutnya, Prancis telah waspada terhadap ancaman, namun tidak mengantisipasi skala serangan seperti yang terjadi pada Jumat lalu. Setelah 17 orang dibunuh dalam serangan di majalah Charlie Hebdo dan sebuah supermarket pada Januari lalu, Prancis memobilisasi 7.000 tentara untuk mengamankan tempat-tempat penting seperti gedung pemerintahan hingga sinagog, tempat sembahyang warga Yahudi. Mereka juga menerjunkan lebih banyak polisi dan membuat aturan untuk memperluas kewenangan pengawasan.
Presiden Prancis, Francais Hollande pada Sabtu (14/11) menyalahkan ISIS di balik serangan. Dia berjanji akan memperketat keamanan dengan lebih banyak menerjunkan tentara berpatroli di jalanan Paris.
Sedikitnya ada 571 warga Prancis yang terkait dengan kelompok radikal di Suriah saat ini dan 141 orang telah meninggal di wilayah itu. Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve mengatakan 370 orang lainnya ditangkap setelah kembali dari Suriah dan 11 ribu orang lainnya diawasi.
Setelah serangan Jumat lalu, Prancis menerjukan 1.000 tentara tambahan untuk berpatroli di jalanan Paris. Sedikitnya, 30.000 polisi serta militar diterjunkan mengamankan lokasi sensitif dalam beberapa bulan terakhir.