REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Masa bulan madu Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull mungkin berakhir ketika pengamat ekonomi dan politik menganggap kurangnya kebijakan baru telah menurunkan perolehan suara dalam beberapa jajak pendapat.
Turnbull, Sabtu (14/2), mengumumkan perombakan belasan orang di kabinetnya, sebuah keputusan yang terpaksa dibuatnya akibat pengunduran diri seorang menteri, pensiunnya dua orang menteri dan pemecatan dua orang lagi atas keterlibatan dalam skandal politik.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Fairfax-Ipsos dengan mengambil sampel 1.403 orang pada 11-13 Februari menunjukkan perolehan terburuk pemerintah sejak Turnbull menggulingkan Tony Abbott dalam kudeta partai akhir September tahun lalu.
Hal ini mempersempit keunggulan atas partai sayap kiri-tengah Partai Buruh dengan selisih suara empat persen. Seteru utama di gedung Senat terus menghadang perubahan kebijakan utama dan Turnbull menghadapi aksi dari sayap partai konservatifnya sendiri sekalipun mempertahankan kebijakan tidak populer Abbot atas pernikahan sesama jenis dan perubahan iklim.
Dosen senior Universitas Sydney Peter Chen mengatakan dalam pemilu dini mungkin kesempatan terbaik bagi Turnbull untuk membuktikan kepemimpinan yang berani dan membalikkan apa yang terlihat sebagai peningkatan penyesalan dari pemilih.
"Jika dia mengikuti agenda Tony Abbott, kenapa dia menggulingkan Abbott? Ini terlihat dilatarbelakangi oleh beberapa faktor personal semata," kata Chen kepada Reuters.
Anjloknya harga beberapa komoditas menguras dana cadangan negara dan menjadi batu sandungan bagi Turnbull yang popularitasnya dibangun dari citranya sebagai manajer keuangan handal. Ramalan Desember menyebutkan defisit anggaran Australia akan membengkak hingga 37,4 miliar dolar Australia (26,6 miliar dolar AS) pada tahun ini hingga Juni karena anjloknya harga beberapa komoditas utama ekspor membuka kesenjangan perolehan pajak.