REPUBLIKA.CO.ID, NORTHERN TERRITORY -- Organisasi induk pemilik tradisional di kawasan Top End mendesak dilarangnya penggunaan peluru timah dalam kegiatan berburu unggas air setelah diketahui peluru timah berkaitan dengan kasus keracunan timbal di sejumlah komunitas di Northern Territory.
Tapi kedua pemerintah menolak seruan pelarangan itu, meski Departemen Kesehatan telah memutuskan untuk mengeluarkan peringatan mengenai praktek penggunaan peluru bertimbal mulai akhir tahun ini.
"Jika orang ingin mengutamakan kesehatan mereka dan kesehatan negara mereka terlebih dahulu karena peluru timah akan terakumulasi dalam waktu lama di rawa-rawa, maka mereka harus mempertimbangkan perubahan ke bentuk amunisi lain untuk digunakan berburu unggas liar," kata CEO Dewan Tanah Utara, Joe Morrison.
"Dari perspektif kesehatan ada kebutuhan tindakan mendesak untuk melarang peluru bertimbal dan membuat langkah pelarangan ini diberlakukan sesegera mungkin,”
Sebanyak 30 anak di komunitas Palumpa, Peppimenarti, dan Emu Point outstation di Top End diketahui mengandung kadar timbal yang meningkat didalam darah mereka. Departemen Kesehatan Northern Territory telah mengaitkan kasus ini pada penggunaan peluru timah yang disering dipakai dalam perburuan angsa air.
Pemburu dari komunitas nonpribumi menembak angsa air dengan peluru timah di kawasan ini, tapi orang Aborijin dapat menggunakannya dengan alat tradisional.
Senator Nigel Scullion, Menteri Urusan Pribumi mengutarakan keraguannya dengan temuan Departemen Kesehatan mengenai peluru timah yang menjadi penyebab kasus tingginya kadar timbal di kalangan anak-anak pribumi di Top End (NT).
"Jika anak-anak tersebut benar-benar memiliki kadar timbal maka jelas murai angsa, yang merupakan hewan utama yang tinggal di perairan itu juga akan memiliki kadar timbal yang harunya tinggi juga,” katanya.
"Tak ada laporan mengenai hal tersebut, dan saya pikir kita perlu melihat dengan teliti untuk memastikan bahwa memang amunisi bertimbal ini penyebabnya."