REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Berhasil ditemukannya kode DNA kacang ini telah membuka pintu untuk meningkatkan hasil panen dan pemberantasan kemungkinan alergi kacang, menurut tim peneliti internasional.
Tim internasional yang terdiri dari sejumlah ilmuwan dari University of Western Australia berhasil mengidentifikasi gen dalam kacang yang dapat diubah untuk meningkatkan produktivitas dan nilai gizi. Temuan ini berpotensi lebih meningkatkan kehidupan petani di negara berkembang, kata Profesor Rajeev Varshney dari Lembaga Penelitian Internasional untuk Tanaman Tropika Kering.
Kacang merupakan tanaman ekonomi utama di India, yang total produksinya mampu mencapai sekitar 20 persen dari total produksi global senilai 46 juta per tahun.
"Negara-negara seperti India dan Afrika Tengah dan Afrika Barat,ketika petani memproduksi kacang, tingkat produktivitasnya sangat rendah,” kata Professor Varshney berbicara dari India.
"Dan ketika mereka menghasilkan apa yang mereka miliki, kacang mereka kadang-kadang memiliki tingkat microtoxins."
Sekitar 3 persen warga Australia menderita beberapa bentuk alergi kacang, yang disebabkan oleh paparan aflatoksin, yang merupakan bahan kimia yang diakibatkan dari teknik penyimpanan yang buruk. Profesor Varshney mengatakan dengan mengidentifikasi genom yang bertanggung jawab untuk tingkat hasil dan allergen ini, para ilmuwan akan dapat memodifikasi kacang yang dihasilkan untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus.
"Jadi temuan genom ini akan ini baik untuk kesehatan, dan pada saat yang sama para petani yang memproduksi kacang dengan tingkat [alergen rendah] ini akan dapat di menjual produk mereka di pasar internasional. Karena sekarang kacang dari India, Senegal, Malawi dan banyak negara lain tidak bisa dijual ke Amerika Serikat atau Eropa," katanya.
"Jadi jika Kita bisa mengembangkan varietas unggul yang bisa memberikan keuntungan yang lebih besar, maka petani akan sangat diuntungkan, dna varietas unggul ini dengan tingkat allergen yang lebih rendah ini akan dapat dijual ke pasar internasional,’
Profesor Varshney mengatakan kacang yang tahan kekeringan juga ajan lebih sederhana, dan melibatkan teknik seleksi genetika yang telah dipraktikkan sejak abad ke-19.
Dia mengatakan varietas ini dapat disempurnakan dalam beberapa tahun melalui upaya oleh sejumlah pakar ilmuwan yang dikenal dengan sebutan pembikan atau breeders.
"Jika Anda bisa menandai gen yang berhubungan dengan masalah kekeringan dan juga kekebalan terhadap penyakit maka kita dapat membantu para pengembang biak,” katanya.
"Kita bisa menyoroti varietas terseleksi ini di laboratorium dan memberitahukan para pembiak untuk hanya mengambil lini atau jalur yang cocok saja ke lapangan,”
"Waktu penanaman juga akan dapat dikurangi dari tujuh atau delapan tahun hingga 3-4 tahun saja."
Profesor Varshney mengatakan memproduksi kacang yang bebas alergen jauh lebih rumit, dan akan memakan waktu lebih lama dan memerlukan penggunaan organisme hasil rekayasa genetika (GMO).
"Dan tentu saja Anda juga memiliki masalah penerimaan publik atas barang semacam ini. Jadi inilah perbedaaan cerita dan Saya tidak bisa memprediksikan seberapa lama waktu penelitian mengenai hal ini akan berlangsung," katanya.
“Tapi dia mengatakan para ilmuwan di negara-negara seperti AS, dimana produk GMO kurang menjadi perdebatan, akan dapat mampu menggunakan penelitian tim ini, yang dia katakan akan dapat juga membantu mengeksplorasi kasus alergi kacang yang lain.
"Aflatoxin merupakan masalah pada jenis kacang-kacangan yang lain juga. Jadi penelitian ini akan memberikan sejumlah temuan yang dapat membantu mengidentifikasi gen semacam ini di kacang jenis lainnya,” katanya.