REPUBLIKA.CO.ID, EDINBURGH -- Warga Skotlandia, Pamela Jenkins melihat peluang yang besar bagi anak-anaknya di dalam Uni Eropa. Sekarang, dia sangat kecewa dengan pilihan rakyat Inggris untuk meninggalkan blok itu.
"Saya sangat malu bahwa negara di mana saya tinggal telah memilih keluar dengan alasan yang menurut pendapat saya mengerikan, sepenuhnya xenophobia dan rasisme. Saya sekarang tidak melihat Inggris Raya sebagai sesuatu yang begitu menyenangkan seperti sebelumnya," kata dia seperti dilansir VOA, Rabu (13/7).
Dua tahun yang lalu, Jenkins memilih menolak referendum kemerdekaan Scotlandia dari Inggris. Kini, ia berubah pikiran.
"Saya ingin anak-anak saya dibesarkan di dalam Uni Eropa, benar-benar ingin. Dan jika pemungutan suara untuk kemerdekaan Skotlandia kemungkinan besar akan terjadi, maka itulah yang akan saya lakukan," tambahnya.
Dia tidak sendirian. Jajak pendapat yang dilakukan setelah pemungutan suara Brexit menunjukkan sekitar 60 persen orang Skotlandia sekarang mendukung kemerdekaan, dibandingkan dengan 45 persen pada referendum 2014.
Banyak warga Skotlandia merasa pemerintah di London memaksa mereka untuk menerima keputusan yang sangat tidak populer.
Mahasiswa Universitas Edinburgh Ben Nisbet juga telah beralih posisi sejak referendum 2014. Ia mengatakan, "Saya akan benar-benar condong memilih “Ya” untuk kemerdekaan Skotlandia, dan itu adalah sesuatu benar-benar mengejutkan buat saya."
Menurut Nisbet, generasinya sangat merasakan manfaat keanggotaan Uni Eropa.
"Saya bisa bepergian ke Eropa dengan sangat murah dan sangat mudah tanpa visa atau apa pun. Selain itu, saya juga telah melihat banyak budaya di dalam Skotlandia. Dalam hal pendanaan, saya punya adik yang menderita Downs Syndrome, dan Uni Eropa telah benar-benar aktif dalam mengurus orang-orang dengan kebutuhan khusus," tutur Nisbet.
Tapi gambaran keseluruhannya lebih rumit. Lagu "Scotland the Brave" berkumandang di pusat Edinburgh. Trio "The Spinning Blowfish" menggambarkan Uni Eropa dengan musisi dari Skotlandia dan Italia. Salah satu anggotanya, David Spiers, memilih untuk meninggalkan Uni Eropa karena dia menganggap blok itu tidak demokratis.
"Saya juga memilih kemerdekaan Skotlandia pada tahun 2014. Tapi saya menerima bahwa kami kalah, dan itu masih sangat baru. Dan saya pikir kita tidak harus melakukan referendum lagi hanya untuk mencoba membatalkan keputusan yang telah dibuat," ujar Spiers.
Referendum Uni Eropa itu telah memicu perdebatan sengit mengenai identitas dan demokrasi. Ganjaran bagi "Brexit" bisa jadi berbuntut pada perpecahan Inggris sendiri.