REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Myanmar Aung San Suu Kyi meminta agar sanksi ekonomi di negaranya segera dicabut oleh Amerika Serikat. Namun rupanya permintaan Suu Kyi tersebut menimbulkan kemarahan sejumlah kelompok HAM.
Wakil Direktur Pengamat HAM di Washington, John Sifton mengatakan, menghapus batasan dan melakukan bisnis dengan militer serta perusahaan Myanmar, hanya akan memperkaya rezim di negara itu.
"Ini merupakan hal yang salah, bisnis dengan mereka hanya akan menguntungkan rezim saja bukan masyarakat Burma secara umum," katanya, Rabu, (14/9).
Suu Kyi dinilai gagal dalam melindungi suku Rohingya yang berjumlah 125 ribu. Mereka tinggal di tenda-tenda pengungsian dan kondisinya sangat menyedihkan sejak terjadinya kekerasan pada 2012.
Bahkan hukum di Myanmar tak mengakui suku Rohingya sebagai salah satu suku yang ada di Myanmar. Ini membuat suku Rohingya tak memiliki negara. Mereka dianggap sebagai imigran gelap oleh Bangladesh dan dibenci oleh banyak orang di Myanmar. Sikap Myanmar dinilai rasis oleh pendukung HAM.
Senator Amerika Bob Choker mengatakan, Suu Kyi meremehkan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Myanmar. Salah satunya adalah jual beli manusia yang terjadi di sana.
"Saya akan memperhatikan semua usaha Pemerintah Myanmar dalam mencegah jual beli manusia untuk diperbudak demi keuntungan bisnis maupun dijadikan budak seks. Saya akan mengamati ini dengan seksama," katanya saat sarapan dengan Suu Kyi.
Baca juga, Pengamat: Rasa Salut Saya Memudar Terhadap Suu Kyi.