REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Jumlah pengungsi asal Sudan Selatan telah melebihi satu juta orang, Jumat (16/9). PBB menyebut kekerasan terbaru sejak Juli telah memaksa penduduk melarikan diri ke negara-negara tetangga. Menurut PBB, ini menjadi salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia.
"Ini pencapaian yang sangat menyedihkan," kata Juru bicara badan pengungsian PBB, UNHCR Leo Dobbs, dikutip Aljazirah.
Negara termuda di dunia ini telah bergabung dengan Suriah, Afghanistan dan Somalia sebagai negara penghasil pengungsi terbanyak. Dobbs mengatakan sebagian besar pengungsi dari Sudan Selatan adalah perempuan dan anak-anak. Mereka termasuk korban selamat serangan kekerasan, pelecehan seksual, anak yang terpisah dari orang tuanya, manula hingga cacat.
Sekitar 185 ribu orang telah melarikan diri sejak awal Juli ketika pertempuran meningkat di ibu kota Juba. Perselisihan antara pendukung Presiden Salva Kiir dan pendukung Wakil Presiden Riek Machar tidak terelakkan sejak saat itu.
Bukan hanya warga sipil, orang asing termasuk pekeja bantuan menjadi sasaran kerusuhan Juli. Para tentara dengan brutal menyerang sipil, memperkosa perempuan, melakukan eksekusi sepihak hingga warga sipil di satu hotel dipaksa melihat eksekusi jurnalis lokal.
Dobbs mengatakan kekejian ini telah mengguncang harapan penduduk untuk perubahan. Gelombang baru pengungsian dan penderitaan pun dimulai lagi. Kini lebih dari 1,6 juta orang mengungsi di dalam negeri.
Sudan Selatan menjadi negara termuda yang didera krisis. Negara ini merdeka pada 2011. Perang sipil meletus dua tahun setelahnya ketika Kiir menuduh Machar merencanakan kudeta untuk menurunkannya.
Kesepakatan damai tercapai satu tahun kemudian dibawah tekanan internasional. Namun perseteruan kembali terulang. Machar ikut melarikan diri dari Sudan Selatan dalam beberapa pekan kemudian.