REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY -- Menyusul keputusan Pemerintah Israel mengizinkan petani Gaza untuk mengekspor stroberi ke negara-negara Eropa, para petani Gaza mulai memanen stroberi mereka untuk keperluan ekspor. Direktur Pemasaran Kementeri Pertanian Gaza, Tahsin al-Saqqa mengatakan, stroberi dari Gaza akan mendapat sertifikasi dari kementerian sebelum bisa diseberangkan ke Eropa.
Sertifikat akan diberikan bila tim ahli kementerian sudah menyatakan stroberi produksi para petani bebas dari residu pestisida. Stroberi-stroberi ini diharapkan bisa mulai diekspor pada Kamis (1/12) ini.
Al-Saqqa menyebut, petani Gaza diharapkan bisa memproduksi sekitar 1.500 ton stroberi di musim kali ini. Sementara itu, tersisa lahan 150 are yang dikhususkan untuk stroberi.
Al-Saqqa mengatakan, para petani stroberi pernah memanen hingga 7.000 ton stroberi setahun di lahan seluas 750 are tahun lalu. Sementara biaya produksi untuk area seluas 1.000 meter persegi mencapai 3.000 dolar AS.
"Bila kami bisa mengakses pasar Eropa di awal musim, para petani akan mendapat untung lumayan," kata Al-Saqqa seperti dikutip Maan News, Rabu (30/11). Stroberi yang masuk ke pasar Eropa juga berasal dari Mesir dan Maroko.
Awal bulan ini, pejabat Israel mengatakan, bahwa lembaga sipil Israel menginisasi program untuk memfasilitasi penanaman stroberi oleh petani Palestina. Program ini merupakan hasil kerja sama dengan Koordinator Bidang Pertanian dan USAID.
Program ini diproyeksikan bisa menghasilkan 425 ton stroberi dan menghasilkan pendapatan hingga lima juta shekel (1,3 juta dolar AS) bagi para petani Palestina yang bergabung dalam program ini.
Gaza sudah tertekan di bawah blokade militer Israel sejak 2007 saat Hamas terpilih sebagai pemimpin Gaza. Tingkat pengangguran dan kemiskinan di Gaza sendiri terbilang tinggi. Belum lagi serangan Israel yang kadang meningkat seperti pada 2008 dan 2014 lalu.
Produksi pertanian telah merosot sejak Israel memberlakukan blokade dan melarang ekspor dari Gaza sehingga para petani berhenti menanam stroberi karena biaya produksi yang tinggi. Para petani sendiri sangat bergantung pada material pertanian yang diselundupkan melalui kanal-kanal penghubung daerah mereka ke Mesir. Sayangnya, sejak penghancuran kanal-kanal bawah tanah yang menghubungkan Gaza dengan Mesir pada 2013, para petani terpaksa membeli semua kebutuhan pertanian yang diimpor Israel yang secara dramatis meningkatkan biaya produksi.