Ahad 04 Dec 2016 21:04 WIB

Ketika Komedian Muslim Duduk Bersebelahan dengan Putra Trump

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Indira Rezkisari
Putra calon presiden AS dari Partai Republik Donald Trump, Eric Trump berbicara dalam Konvensi Nasional Republik di Cleveland, Rabu, 20 Juli 2016.
Foto: AP Photo/J. Scott Applewhite
Putra calon presiden AS dari Partai Republik Donald Trump, Eric Trump berbicara dalam Konvensi Nasional Republik di Cleveland, Rabu, 20 Juli 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Seorang komedian AS menceritakan pengalaman uniknya saat duduk di kursi bisnis pesawat menuju Skotlandia, Sabtu (3/12). Pada Guardian, Mo Amer bercerita soal secara 'kebetulan' duduk di sebelah putra Donald Trump, Eric.

Amer bahagia karena ia memutuskan untuk menukar kursi ekonominya jadi bisnis. Saat itu pramugari memintanya duduk di sebuah kursi kosong dekat seorang pria berbaju biru berlogo organisasi Trump. Ia pun sontak kaget.

Amer lahir di Kuwait dari orang tua Palestina. Ia datang ke AS sebagai pencari suaka setelah Perang Teluk pertama. Ia jadi warga negara AS pada 2009. Saat melihat Eric, ia merasakan kesempatan emas, baik sebagai Muslim maupun warga AS.

"Saya duduk dan memperkenalkan diri sebagai Mohammed," kata Amer. Ia pun langsung mengatakan kalau dirinya Muslim. "Saya juga tidak akan mengikuti ide identitas Muslim itu," tambahnya pada Eric.

Ia merujuk pada ide soal registrasi Muslim di AS. Respons Eric saat itu cukup mengejutkan dan tidak sama dengan saat kampanye Donald Trump. "Ayo lah teman, jangan percaya apa yang kau baca, kami tidak akan melakukan itu," kata Eric.

Pembicaraan keduanya berlangsung tanpa henti selama 45 menit perjalanan dari AS. Amer mengatakan kesan yang ia dapat adalah pembicaraan yang bersahabat.

Eric saat itu sedang dalam perjalanan menuju acara golf di Turnberry, Skotlandia. Sementara Amer sedang dalam perjalanan untuk The Human Appeal Charity Comedy Tour.

Trump saat itu meminta Amer untuk santai saja pada kepemimpinan ayahnya. Eric mengatakan Trump adalah orang baik. Meski demikian, Amer tetap tidak mengubah pandangannya.

Ia menilai politik adalah permainan, seperti catur. "Saya merasa ini hanya permainan memindahkan bidak, tidak berarti saya tak merasakan apa-apa, tapi ini tidak berimbas pada saya dan keluarga," kata Amer.

Pada akhirnya ia merasa senang bisa bicara dengan Eric. Menurutnya ini adalah kesempatan yang jarang sekali terjadi. Ia bisa bicara dengan orang yang jarang bisa ditemui.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement