REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Perdana Menteri Malcolm Turnbull berkeras mengatakan 'bukan tugasnya' mengomentari keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) untuk membatasi imigrasi, meskipun muncul kecaman keras dari Inggris dan Jerman.
Lebih dari 110 ribu orang warga Australia dilahirkan di salah satu dari 7 negara yang masuk dalam daftar hitam imigrasi yang dilarang bepergian ke Amerika Serikat dalam waktu 90 hari oleh Presiden Trump.
Namun ribuan orang lainnya yang berpotensi melakukan perjalanan ke Amerika juga kemungkinan akan ikut terdampak dari perubahan peraturan imigrasi AS ini. Kebijakan ini juga ‘menandai’ warga Australia yang pernah bepergian ke Iran, Irak, Suriah dan Sudan sejak Maret 2011.
Meskipun terdapat kekhawatiran semacam ini, Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menolak berkomentar mengenai perintah eksekutif Presiden Donald Trump itu. PM Turnbull mengatakan, meskipun kebijakan keamanan imigrasi dan perbatasan Australia telah membuat iri dunia."Bukan pekerjaan saya sebagai Perdana Menteri Australia untuk memberikan komentar tentang kebijakan dalam negeri negara lain," katanya.
"Australia punya sistem yang sangat kuat – itu adalah fakta. Kami bangga dengan sistem yang kuat itu dan akan tetap mempertahankannya dimanapun kami bisa lakukan, kita akan meningkatkan sistem tersebut.”
Sementara itu Menteri Luar Negeri Julie Bishop telah mengatakan kepada para diplomat di Washington DC untuk melobi pemerintahan Presiden Donald Trump dan memastikan perintah eksekutif terbarunya tidak akan berlaku bagi warga Australia yang memiliki dua kewarganegaraan.
Baca: Heboh Larangan Trump, Apa yang Dimaksud Perintah Eksekutif?
Pemerintah Kanada mengklaim warganya dibebaskan dari pembatasan visa baru ini, sementara Pemerintah Inggris menegaskan larangan sementara ini tidak berlaku bagi warga negara Inggris penuh. PM Turnbull mengatakan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) belum menerima permintaan bantuan konsuler dari warga Australia yang tidak dapat masuk ke Amerika Serikat.
Perintah eksekutif Presiden Donald Trump ini juga menunda semua penerimaan pengungsi selama 120 hari dengan pengecualian kasus demi kasus dan menunda masuknya pengungsi asal Suriah tanpa batas. Perintah pengecualian ini sebagian merujuk pada putusan pengadilan darurat, dalam menanggapi kasus yang diajukan oleh ACLU atas nama warga Irak Hameed Khalid Darweesh, yang pernah menjadi penerjemah untuk militer AS, dan Haider Sameer Abdulkhaleq Alshawi.
Bendahara Scott Morrison membandingkan perintah eksekutif Presiden Trump ini dengan tindakannya ketika menjabat sebagai Menteri Imigrasi tidak lama setelah Pemilu federal 2013 lalu. "Seluruh dunia mengikuti kebijakan kita dan bagaimana AS ingin menangani masalah ini adalah sepenuhnya kewenangan mereka," katanya kepada Sydney stasiun radio 2GB.
"Mereka telah melaksanakan pemilu, dan Presiden [Trump] sedang melaksanakan apa yang ia janjikan akan dilakukannya.”
“Saya ingat ketika kami [partai liberal] menjabat pada tahun 2013 dan saya menerapkan kebijakan perlindungan perbatasan kita, orang-orang menolak itu dan saya katakan, “dengar, saya sedang melakukan apa yang saya katakan akan saya lakukan dan apa yang saya katakan akan saya laksanakan.”
Pemimpin dunia kecam pelarangan imigrasi
Di tempat lain, Perdana Menteri Inggris Theresa May memerintahkan dua menteri paling senior di kabinetnya, yakni Menteri Luar Negeri Boris Johnson dan Sekretaris Amber Rudd, untuk memanggil pulang rekan-rekan mereka di AS sebagai bentuk protes. Warga Inggris yang terdampak larangan ini termasuk atlet Olimpiade Inggris yang menerima bintang kehormatan, Sir Mo Farah, yang lahir di Somalia.
Kanselir Jerman Angela Merkel juga telah mengeluarkan pernyataan menentang kebijakan larangan imigrasi AS itu. Kanselir Merkel mengatakan perang melawan terorisme tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang para pengungsi. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga mengatakan negaranya menyambut mereka yang melarikan diri perang dan penganiayaan, "terlepas apa iman Anda".
Di antara para pemimpin pertama yang menyuarakan kritik mereka adalah Presiden Prancis Francois Hollande, yang mengatakan: "Ketika [Presiden Trump] menolak kedatangan pengungsi, sementara Eropa telah melakukan tugasnya, kita harus menanggapinya.
Perdana Menteri Italia Paolo Gentiloni mengatakan "masyarakat terbuka, identitas majemuk, tidak ada diskriminasi" adalah pilar dari Eropa. Denmark, Pemerintah Swedia dan Norwegia juga menegaskan perlawanan mereka.
Warga Australia makin terkendala melancong ke AS
Sementara perintah eksekutif Presiden Trump terus menuai kecaman dunia internasional, perintah ini bukan menjadi satu-satunya halangan bagi warga Australia bebas dari hambatan masuk. Sebuah undang-undang AS yang disebut Undang-Undang Visa Peningkatan Program Pelepasan dan Pencegahan Tindakan Teroris Tahun 2015 telah berdampak bagi ribuan calon wisatawan ke Amerika.
Sejak 1 April 2016, aturan hukum ini telah melarang siapa pun masuk AS dengan menggunakan skema bebas visa jika mereka telah melakukan perjalanan ke Iran, Irak, Sudan atau Suriah sejak Maret 2011. Banyak warga Australia "ditandai" karena riwayat perjalanan mereka sebelumnya dan ditolak di meja pendaftaran penumpang, tanpa menyadari riwayat perjalanan mereka sekarang menjadi kendala untuk masuk ke AS.
Kondisi ini juga berlaku bagi warga Australia yang berencana untuk transit melalui bandara AS ke negara ketiga. Mereka yang diblokir bisa mengajukan permohonan visa non-imigran tradisional dari Departemen Keamanan Dalam Negeri, tetapi perlu mengajukan permohonan ini sebelum melakukan perjalanan mereka.
Karena ada sejumlah besar anggota Angkatan Pertahanan Australia yang sebelumnya bekerja di Irak selama periode tersebut, mereka juga mendapatkan pengecualian untuk memungkinkan mereka masuk dalam skema visa elektronik Amerika.
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan sejak saat itu juga telah memperbarui ‘travel advice’ atau ‘saran perjalanan’ mereka bagi warga Australia yang hendak bepergian ke AS menyusul diterbitkannya perubahan kebijakan imigrasi Amerika Serikat ini. "Setiap warga Australia yang sebelumnya telah mengeluarkan Otorisasi Perjalanan Sistem Elektronik [ESTA] kemungkinan ESTA mereka sudah dicabut," kata pernyataan itu.
Partai Buruh nilai Pemerintah tersesat
Pemimpin oposisi Bill Shorten mengatakan kebijakan larangan sementara AS itu "mengerikan dan harus berakhir secepat mungkin". "Saya mendesak PM Malcolm Turnbull untuk mempertimbangkan kembali apa posisi bangsa kita seharusnya dan memikirkan kembali apa yang harus dia katakan atas nama kami," katanya.
Tanya Plibersek dari Partai Buruh mengatakan pemerintah telah tersesat dan perlu menyediakan kejelasan bagi para pelancong Australia. "Saya pikir [kejelasan] itu benar-benar penting sekarang ini bahwa Pemerintah Australia telah meminta klarifikasi tentang bagaimana hal ini akan mempengaruhi warga negara Australia," katanya.
"Kami telah melihat Perdana Menteri Inggris Theresa May dengan tegas menyatakan bahwa dia tidak mendukung larangan perjalanan ini. Saya pikir sangat penting saat ini Pemerintah Australia membuat pernyataan yang jelas tentang pandangan mereka mengenai kebijakan larangan perjalanan yang diskriminatif ini," katanya.
Sementara juru bicara Kebijakan Luar Negeri Partai Buruh, Penny Wong telah menyurati Menlu Bishop untuk memberikan kejelasan yang lebih luas mengenai bagaimana larangan ini akan mempengaruhi warga Australia yang hendak bepergian. “Tanpa diragukan lagi anda pasti sudah menyadari, kebijakan ini telah banyak menyedot perhatian anggota masyarakat," katanya.
Anggota Partai Buruh lainnya, Anne Aly, yang juga seorang ahli hukum dalam melawan radikalisme, mengatakan perintah eksekutif Trump ini akan "benar-benar tidak efektif" dan tidak dirancang dengan pertimbangan keamanan.
"Jika pertimbangan ini sudah dilakukan, kebijakan ini kontra-produktif," katanya.
Diterbitkan pukul 19:30 WIB, 30/1/2017 oleh Iffah Nur Arifah dari artikel Bahasa Inggris disini.