REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menuding pemerintah Sudan Selatan telah mengabaikan penderitaan 100 ribu rakyatnya yang menderita kelaparan. Rakyat Sudan Selatan memang sedang didera kelaparan hebat.
Guterres mengatakan Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir seperti menolak mengakui negaranya dilanda krisis. Bahkan Kiir, kata Guterres, tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai peminpin untuk mengakhiri krisis di Sudan Selatan.
"Ada konsensus kuat pemimpin Sudan Selatan perlu untuk berbuat lebih banyak guna menunjukkan komitmen mereka terhadap kesejahteraan rakyat di negaranya, yang notabene merupakan salah satu negara termiskin di dunia," tutur Guterres, seperti dilaporkan Aljazirah, Jumat (24/3).
Guterres juga skeptis terhadap niat Kiir untuk menggelar dialog nasional. Mengingat negara itu membatasi sistem kebebasan politik dasar dan pembatasan akses kemanusiaan.
Menanggapi tudingan dan teguran Guterres, Wakil Dubes Sudan Selatan, Joseph Moum Malok mengatakan pemerintahnya masih tetap berupaya menangani krisis di negaranya. Pemerintah juga bertanggung jawab terhadap kelaparan hebat di dua kabupaten Sudan Selatan. Malok bahkan memperkirakan krisis dan kelaparan tersebut akan meluas ke daerah-daerah lainnya bila mengingat kemarau dan kekeringan yang terjadi.
Kendati demikian, Malok mengaku pemerintah Sudan Selatan tidak akan memiliki rencana cadangan untuk menangani krisis di sana. "Dan kami menyerukan kepada masyarakat internasional untuk membantu mengatasi masalah mendesak ini," ujarnya.
Selain kemarau dan kekeringan, krisis di Sudan Selatan juga dipicu konflik yang berkepanjangan. Perang saudara yang telah berkecamuk selama tiga tahun telah menghancurkan negara tersebut. Konflik tidak hanya menyebabkan puluhan ribu rakyat tewas, tapi juga memantik munculnya bencana kelaparan.
Konflik atau perang di Sudan Selatan dimulai setelah Presiden Salva Kiir dan mentan wakil presiden Riek Machar memperebutkan tampuk kekuasaan. Kendati keduanya telah menandatangani kesepakatan damai pada tahun lalu, namun perang tak pernah benar-benar usai.