Selasa 11 Apr 2017 09:15 WIB

Mengapa Perempuan Lebih Takut pada Laba-Laba?

Laba-laba berbulu yang menjadi koleksi di Australian Museum.
Foto: ABC
Laba-laba berbulu yang menjadi koleksi di Australian Museum.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Seberapa berani Anda mendekati laba-laba besar dan berbulu?

Kebanyakan dari kita mungkin memilih menjauh, tapi bagi lima persen populasi ketakutan dengan laba-laba begitu besarnya sampai-sampai berdampak mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. Mereka mengalami arachnofobia, dan mayoritasnya adalah perempuan. Sejumlah penelitian bahkan menunjukkan sebanyak 90 persen dari arachnofobiaadalah perempuan.

Para peneliti di University of New South Wales (UNSW) Australia berpendapat hormon seks perempuan menjadi faktor penyebab ketidakseimbangan tersebut. Mereka sedang menyelidiki apakah perempuan lebih mungkin membangun rasa takut pada laba-laba dan kurang mau mengobati kegelisahan mereka ketika mengalami siklus menstruasi dimana tingkat hormon seksual berada di titik terendah.

Sebanyak 90 perempuan turut ambil bagian dalam penelitin di UNSW mengenai peran hormon dalam arachnofobia. Salah satunyanya adalah Briana Clifford. Briana selalu takut pada laba-laba.

Spider exposure therapy
Briana Clifford dan Dr Sophie Li dalam sesi terapi menghadapi laba-laba.

ABC: Barbara Miller

"Saya mengira normal saja jika takut dengan laba-laba sepanjang waktu," katanya.

"Ayah saya tidak takut laba-laba. Saya selalu pikir hal itu sangat aneh ketika dia menyingkirkan laba-laba untuk kami, menyentuh mereka dan hal semacam itu," ujarnya.

"Saya jadi terdengar agak gila namun selalu melakukan hitung mundur seberapa lama sejak saya bertemu dengan laba-laba," kata Briana.

"Saya merasa semakin lama jarak insidennya, semakin besar kesempatanku melakukan kontak dengan laba-laba," tambahnya.

Dia kini mencoba menghentikan dirinya dari perilaku menghindar secara berlebihan. Dia begitu ketakutan dengan kontak berikutnya sampai-sampai harus memeriksa di bawah tempat tidur dan di setiap sudut dan celah mobilnya sebelum mengendarainya.

"Saya tahu sebagian besar laba-laba tidak beracun. Saya tahu hal itu. Mereka mungkin tidak akan menyakiti saya. Tapi lebih pada antisipasi dan kecemasan laba-laba akan menyentuhku atau berjalan ke arahku," katanya.

Briana juga telah melakukan terapi laba-laba dengan psikolog klinis di UNSW. Terapi ini pertama-tama membicarakan apa sebenarnya yang ditakuti pasien akan terjadi jika mereka menemukan laba-laba.

Bronwyn Graham, seorang dosen senior di Jurusan Psikologi UNSW, mengatakan informasi tersebut sangat penting. "Karena daripada mengekspos orang pada laba-laba, kami ingin mengekspos mereka pada kemungkinan yang mereka takuti," katanya.

Sesi yang diikuti Briana Clifford pertama-tama mengamati laba-laba jenis St Andrews Cross, kemudian mengambilnya menggunakan kartu pos dan cangkir, lalu menyentuhnya, dan akhirnya membiarkannya merangkak di tangan. Dia berulangkali bersandar ke kursinya, melompat dan menjerit beberapa kali, serta gemetaran saat dia memegang laba-laba tersebut dalam cangkir.

Anna Forster and a tarantula
Anna Forster dari Australian Museum menunjukkan koleksi laba-laba besar atau tarantula.

ABC: Barbara Miller

Jangan lari

Psikolog klinis Dr Sophie Li mengatakan ada beberapa aturan untuk sesi tersebut. "Pertama jangan lari, termasuk bersandar ke belakang. Dan kedua adalah jangan menggambarkan laba-laba sebagai makhluk menjijikkan," katanya.

Para psikolog menyebutkan sesi seperti ini, yang bisa sampai pasien akhirnya menyentuh laba-laba berbulu, bisa butuh waktu lama bagi pnyembuhan seseorang dari arachnofobia. Sekitar 40 persen orang tidak berkurang rasa cemasnya setelah terapi eksposur. Para peneliti UNSW berharap bisa menunjukkan hasil yang lebih rendah pada perempuan tersebut terkait dengan tingkat hormon seksual yang rendah.

Jika hal itu terbukti, pengobatan bisa dijadwalkan pada waktunya saat siklus ketika tingkat hormon seksel perempuan lebih tinggi. Untuk perempuan dengan tingkat estradiol rendah dan telah melalui menopause, hormon dapat diberikan sebelum sesi terapi dimulai.

"Jika kami menunjukkan adanya fluktuasi dalam menanggapi pengobatan disebabkan kadar hormon, maka hal itu pasti berimplikasi besar pada bagaimana kita harus mengobati perempuan nantinya," kata Dr Bronwyn Graham.

Untuk Ellen Fawcett, peserta yang juga turut ambil bagian dalam penelitian di UNSW ini, sesi terapi pemaparan dua jam telah menunjukkan hasil yang luar biasa. Mahasiswa jurusan pekerja sosial ini mengalami peningkatan dari tadinya tidak bisa melihat laba-laba sampai ke tahap membiarkan laba-laba merangkak di tangannya.

"Saya merasa seperti telah menaklukkan dunia," ujarnya bersemangat.

Diterbitkan Senin 10 April 2017 Pukul 14:20 AEST oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/studi-nad-inovasi/mengapa-perempuan-lebih-takut-pada-laba-laba/8431290
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement