Ahad 16 Apr 2017 10:53 WIB

Referendum Bersejarah yang Membelah Turki

Pendukung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melambaikan bendera nasional dan bendera
Foto: REUTERS/Alkis Konstantinidis
Pendukung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan melambaikan bendera nasional dan bendera "Ya" jelang referendum di Istanbul, Turki, 15 April 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Rakyat Turki memberikan suara dalam sebuah referendum pada Ahad (16/4) yang dapat memberi kekuasaan-kekuasaan baru kepada Presiden Tayyip Erdogan dan merupakan perubahan paling radikal dalam sistem politik negara itu dalam sejarah modernnya.

Jajak pendapat telah menunjukkan keunggulan tipis bagi suara "Ya" sebagai tanda dukungan bagi referendum yang akan menggantikan demokrasi parlementer Turki dengan sebuah kepresidenan yang berkuasa penuh dan memungkinkan Erdogan berada di tampuk kekuasaan hingga sedikitnya tahun 2029.

Hasil referendum juga akan membentuk hubungan yang renggang antara Turki dengan Uni Eropa (UE). Negara anggota NATO itu telah meredam arus migran, kebanyakan pengungsi dari perang-perang yang berkecamuk di Suriah dan Irak, masuk ke wilayah blok itu. Namun, Erdogan menyatakan ia mungkin mengkaji ulang persetujuan itu setelah pemungutan suara tersebut.

Sebanyak 55 juta orang berhak memberikan suara di sedikitnya 167.140 tempat pemungutan suara di seantero negeri, yang buka pukul 7.00 pagi waktu setempat (pukul 11.00 WIB) di bagian timur negara itu dan tutup pada pukul 17.00 waktu setempat (pukul 21.00 WIB). Para pemilih Turki di luar negeri sudah memberikan suara mereka.

Referendum itu telah membelah Turki. Erdogan dan pendukungnya mengatakan perubahan-perubahan diperlukan untuk mengamandemen konstitusi yang berlaku saat ini, menghadapi tantatangan politik dan keamanan yang negara itu hadapi, dan menghindari pemerintahan-pemerintahan koalisi yang rentan seperti terjadi di masa lalu.

Baca: 55 Juta Warga Turki akan Berikan Suara dalam Referendum

Para penentang menyatakan referendum itu merupakan satu langkah menuju pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa otoriter di sebuah negara tempat 40 ribu orang telah ditangkap dan 120 ribu dipecat dalam penumpasan menyusul kudeta yang gagal Juli lalu.

Aksi pemerintah itu mengundang kritik dari para sekutu Turki di Barat dan kelompok-kelompok HAM. Hubungan antara Turki dan Eropa mencapai titik rendah selama kampanye referendum ketika negara-negara anggota UE, termasuk Jerman dan Belanda. Belanda melarang para menteri Turki mengadakan kampanye untuk mencari dukungan bagi perubahan-perubahan tersebut.

Erdogan menyebut larangan-larangan itu "tindakan Nazi" dan mengatakan Turki dapat mempertimbangkan kembali hubungan dengan UE setelah bertahun-tahun mengupayakan untuk menjadi anggota blok itu.

Seruan Erdogan

Dalam kampanye menjelang referendum, Erdogan mengadakan empat rapat umum di tempat terpisah di Istanbul, mendesak para pendukung dalam jumlah besar untuk memberikan suara. "16 April akan menejadi titik balik bagi sejarah politik Turki... Setiap suara yang Anda berikan besok akan menjadi batu lompatan dari kebangkitan kembali kita," kata dia kepada khalayak yang membawa bendera-bendera Turki dan memadati rapat itu.

"Waktunya hanya tinggal beberapa jam lagi dari sekarang. Ajak semua teman Anda, keluarga, sahabat-sahabat dan bergerak menuju tempat pemungutan suara," kata dia.

Erdogan dan Partai AK yang berkuasa, dipimpin Perdana Menteri Binali Yildirim, telah menikmati liputan luas dari media untuk meraih dukungan dalam pemungutan suara itu, menyisihkan partai Rakyat Republik (CHP) dan partai Demokratik Rakyat (HDP) yang pro Kurdi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement