Senin 17 Apr 2017 14:16 WIB

Hari Referendum Turki Makan Korban Tiga Nyawa

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Polisi antihuru-hara menahan seorang pendemo di luar Dewan Pemilihan Tinggi di Ankara, Turki, Ahad, 16 April 2017. Mereka menentang referendum Turki.
Foto: AP Photo/Burhan Ozbilici
Polisi antihuru-hara menahan seorang pendemo di luar Dewan Pemilihan Tinggi di Ankara, Turki, Ahad, 16 April 2017. Mereka menentang referendum Turki.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Referendum untuk menentukan apakah Turki akan menerapkan konstitusi baru negara itu digelar pada Ahad (16/4). Namun, di hari itu sejumlah kekerasan dilaporkan terjadi saat pemilihan berlangsung di salah satu tempat pemungutan suara di Provinsi Diyarbakir.

Dari laporan kantor berita Turki, Anadolu, ada dua keluarga yang bertengkar di tempat pemungutan suara di Desa Yabanard. Sesaat kemudian, ada suara tembakan terdengar.  Dua orang pria dilaporkan mengalami penembakan. Mereka kemudian dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan sebuah mini bus.

Namun, di tengah perjalanan kendaraan itu diserang oleh sekelompok orang dengan menggunakan batu. Salah satu anggota keluarga yang juga berada dalam mini bus bersama dengan korban terluka hingga ketiganya akhirnya tewas.

Belum diketahui lebih lanjut apa yang menjadi penyebab utama pertengkaran di tempat pemungutan suara tersebut. Namun, diduga ada perbedaan pendapat antara dua keluarga atas dilakukannya referendum Turki.

Dilansir dari CNN, hasil referendum Turki yang telah dihitung sementara saat ini menunjukkan sebanyak 51,4 persen pemilih setuju, sementara 48,63 persen menolak. Dari hasil tersebut, konstitusi baru negara itu dapat disahkan dan Turki tak lagi mengadopsi sistem parlementer, namun menjadi presidensial.

Dengan sistem baru ini, presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri secara langsung. Selain itu, jabatan perdana menteri akan dihapus untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki. Namun, nantinya terdapat seorang wakil presiden.

Sistem pemerintahan baru Turki disebut oleh sejumlah kritikus membuat Presiden Recep Tayyip Erdogan memiliki kekuatan lebih besar atas negara yang terletak di antara Asia dan Eropa itu. Terlebih, dalam ketentuan baru ini, presiden dapat secara langsung campur tangan dalam urusan peradilan.

Partai AK (AKP) yang didirikan oleh Erdogan juga mendapat jatah kursi pemerintahan lebih banyak. Kemudian, jumlah anggota parlemen dalam konstitusi baru Turki akan diperbanyak, dari yang semula hanya 550 menjadi 600.

Batas usia minumum bagi mereka yang ingin duduk di kursi parlemen juga diubah. Dalam ketentuan konstitusi baru Turki, tak perlu menunggu hingga usia 25 tahun, namun orang yang berusia 18 tahun diperbolehkan menjadi anggota.

Hasil resmi referendum diumumkan dalam 10 hari ke depan. Sesaat setelah penghitungan suara, ribuan pendukung Erdogan terlihat antusias dan bergembira. Mereka seluruhnya memenuhi jalan-jalan di Istanbul dan Ibu Kota Ankara untuk merayakan apa yang disebut oleh orang nomor satu negara tersebut sebagai kemenangan.

Erdogan telah berkuasa di Turki pada 2002, setahun setelah pembentukan AKP. Selama 11 tahun pria berusia 62 itu menjabat sebagai perdana menteri, hingga pada 2014 terpilih menjadi presiden.

Meski kritik dari penentang Erdogan bermunculan atas rencana perubahan konstitusi Turki, namun para pendukungnya mengatakan sistem pemerintahan baru negara itu diperlukan. Sistem pemerintahan baru Turki disebut hanya akan seperti yang diterapkan Prancis dan Amerika Serikat (AS), di mana pemerintah dapat bertindak lebih efektif.

Erdogan mengatakan perubahan diperlukan untuk membuat stabilitas Turki. Hal ini khususnya dalam menangani ancaman keamanan negara pasca kudeta gagal di negara itu yang terjadi Juli 2016 lalu.

Selain itu, banyak pendukung reformasi Turki yang meyakini perekonomian negara itu dapat menjadi lebih baik. Dengan kekuasaan pemerintah yang lebih efektif, segala bentuk konflik yang menyebabkan penurunan ekonomi dapat lebih mudah teratasi.

Selama lebih dari 30 tahun, Pemerintah Turki harus berlawanan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dikategorikan sebagai kelompok teroris, termasuk oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Meski demikian, oposisi politik negara itu berpendapat konsitusi baru hanya akan menciptakan era kediktatoran modern di Turki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement