REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Wakil Perdana Menteri Turki Mehmet Şimşek telah berusaha meredakan kekhawatiran perusahaan-perusahaan di Barat terkait demokrasi Turki pascareferendum. Dia meyakinkan, Turki masih negara yang demokratis, sekuler dan tidak akan berubah menjadi rezim yang otoriter.
“Turki tidak berubah menjadi rezim otoriter. Turki masih dijalankan oleh supremasi hukum dan ini tidak akan berubah,” kata Şimşek dalam sebuah pertemuan dengan perwakilan senior dari perusahaan-perusahaan Barat terkemuka di Washington, dilansir Hurriyet Daily News, Jumat (21/4).
Hingga kini, Şimşek mengakui keadaan di Turki masih darurat. Namun, hal tersebut penting untuk keselamatan dan keamanan Turki. Şimşek meyakinkan situasi ini hanya sementara dan Turki akan segera stabil.
Ia pun menyatakan, Turki masih berdedikasi pada nilai-nilai universal, peraturan, demokratis, aturan hukum dan hak asasi kebebasan. “Apa yang dipilih pada 16 April 2017 bukanlah perubahan rezim. Perubahan konstitusional ditujukan untuk mengatasi beberapa masalah struktural,” kata Şimşek
Pertemuan tersebut dihadiri eksekutif senior dari Abbott, Apple, Boeing, Cargill, Honeywell, Lockeed Martin, Metlife, Pfizer dan Coca-cola, serta ada juga perwakilan terkemuka dari LSM dan universitas.
Selain sejumlah perubahan sistem dalam ekonomi mikro, kata Şimşek, dia akan merencanakan perubahan komprehensif yang akan memperbaiki sistem investasi Turki, dan akan menjadikan Turki lebih dapat diprediksi.
“Tidak ada alternatif untuk Turki selain reformasi. Pemerintah kita tidak punya pilihan lain selain melakukan reformasi. Salah satu fokus khusus dari reformasi ini, yaitu menempatkan ekonomi pada era baru,” kata dia.