REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Pemerintah Jerman akan melarang warga Turki yang tinggal di negaranya memberikan suara dalam kemungkinan referendum untuk memberlakukan kembali hukuman mati. Pelarangan ini diprediksi akan meningkatkan ketegangan antara Jerman dan Turki.
Setelah memenangkan referendum untuk mengubah konstitusi dan sistem pemerintahan, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersumpah akan mengembalikan penerapan hukuman mati di negaranya. Hal tersebut akan dilakukan Erdogan dengan mengubah amandemen konstitusi Turki.
Juru bicara Pemerintah Jerman Steffen Seibert mengatakan, negaranya akan melarang warga Turki yang tinggal di Jerman berpartisipasi dalam pemungutan suara terkait pemberlakuan kembali hukuman mati. "Secara politis tidak terbayangkan kami akan menyetujui pemungutan suara semacam itu di Jerman. Dengan sebuah ukuran yang jelas bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai Eropa kita," katanya dalam konferensi pers, seperti dilaporkan laman The Independent, Sabtu (6/5).
Menurut dia, pelarangan tersebut tentu dapat dilakukan. "Jika negara lain ingin menggelar pemilihan atau voting di konsulatnya di sini, di Jerman, maka hal ini harus tunduk pada otorisasi Jerman," ujar Seibert.
Pemimpin Partai Demokratik Sosial Martin Schulz, yang notabene oposisi utama Kanselir Jerman Angela Merkel, juga mendukung langkah ini. "Kami tidak dapat mengizinkan pemungutan suara di Jerman pada instrumen yang bertentangan dengan nilai dan konstitusi kami," ujar Schulz.
Turki menghapus prosedur hukuman mati pada 2004. Hal itu dilakukan sebagai dorongan untuk menjadi anggota Uni Eropa.
Terkait pemungutan suara, Turki dapat menggunakan konvensi 1961 untuk menggelar voting di tempat diplomatik guna menjangkau sekitar 1,5 juta pemilih ekspatriat yang tinggal di Jerman.