REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) sedang mempertimbangkan untuk memberi sanksi terhadap negara-negara yang menjalin bisnis secara ilegal dengan Korea Utara (Korut). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan tekanan terhada Korut yang terus mengembangkan program nuklir mereka.
Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan Gedung Putih dalam waktu dekat memutuskan apakah pemberian sanksi sekunder itu dapat dilakukan. Sanksi yang dimaksud dapat diberikan kepada perusahaan dari negara-negara yang secara tidak langsung membantu perekonomian Korut.
Namun, ia tidak menyebutkan nama negara yang mungkin menjalin kerjasama bisnis secara ilegal. Tillerson hanya mengatakan bahwa pertimbangan sanksi ini akan didiskusikan dengan Cina, yang selama ini diketahui sebagai sekutu resmi dan utama Korut.
"Kami mempertimbangkan apakah harus dan mulai mengembil sanksi sekunder untuk negara-negara yang telah kami berikan informasi mengenai hal ini," ujar Tillerson, dilansir BBC, Rabu (14/6).
Sebelumnya, AS mengatakan bekerjasama dengan Cina sebagai strategi baru untuk menghentikan program nuklir Korut. Negeri Paman Sam berencana untuk menekan bank-bank Cina yang melakukan bisnis dengan Korut.
Namun, selama ini Cina nampak enggan menyelesaikan masalah Korut dan dunia dengan tindakan keras. Salah satu alasan utama Beijing diyakini adalah mereka khawatir dengan kemungkinan banyaknya pengungsi yang datang dari negara tetangga itu akibat perekonomian Korut yang memburuk.
Meski demikian, menurut Tillerson, Cina telah memenuhi janji untuk menekan Korut. Ia melihat bahwa Negeri Tirai Bambu sudah mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk denuklirisasi Semenanjung Korea, seperti yang negara itu selama ini ungkapkan.
Cina telah mengatakan terus bekerja keras untuk denuklirisasi Semenanjung Korea. Negara itu berupaya untuk menemukan resolusi damai dan meminta masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik, khususnya Korut dan AS untuk saling menahan diri.
Pertimbangan untuk semakin menekan ekonomi Korut datang di tengah kekhawatiran kemajuan teknologi nuklir yang dikembangkan negara terisolasi itu. Salah satu yang diklaim oleh Korut adalah mereka mampu menempatkan hulu ledak nuklir dalam rudal yang menjangkau antar benua, dikenal sebagai ICBM. Rudal ini memiliki jarak jangkau yang jauh, diperkirakan mencapai 12 ribu kilometer.
Korut selama ini terus mengembangkan program nuklir dengan alasan sebagai alat pertahanan utama. Namun, sejumlah negara di kawasan Semenanjung Korea yaitu Korsel dan Jepang khawatir dan merasa menjadi ancaman utama serangan nuklir dari negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu.