REPUBLIKA.CO.ID,TEHRAN -- Pemerintah Iran, pada Rabu (28/6), mengatakan pihaknya akan mengambil tindakan resiprokal terhadap diberlakukannya kembali kebijakan larangan perjalanan dari negara Muslim oleh Amerika Serikat (AS). Menurutnya, kebijakan itu jelas mendiskriminasikan umat Islam.
Mahkamah Agung AS, pada Senin (25/6), memutuskan untuk mengizinkan pemberlakukan kembali kebijakan larangan perjalanan dari negara-negara mayoritas Muslim yang digagas Donald Trump. Kendati demikian, penerapan larangan perjalanan ini berlaku sementara. Keputusan final tentang penerapan penuh kebijakan ini akan ditentukan pada Oktober mendatang.
Walaupun hanya sementara, Iran mengecam kebijakan larangan perjalanan pemerintahan Trump tersebut. "Keputusan (Mahkamah Agung) itu merupakan indikasi keputusan para pemimpin negara tersebut untuk melakukan diskriminasi terhadap umat Islam," ungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Bahram Qassemi.
Qassemi menegaskan bahwa negaranya akan merespons dan mengambil sikap terhadap pemberlakukan larangan perjalanan tersebut. "Republik Islam Iran, setelah dengan hati-hati memeriksa keputusan Mahkamah Agung AS, akan mengambil tindakan proporsional dan resiprokal," ujarnya.
Kendati demikian, Qassemi tidak menjelaskan secara terperinci terkait tindakan proporsional dan resiprokal yang dimaksud. Dengan keputusan yang baru saja diambil Mahkamah Agung AS, pemerintahan Trump dapat menerapkan larangan masuk ke AS bagi warga Iran, Libya, Suriah, Somalia, Sudan, dan Yaman. Adapun masa penerapan larangan akan berlaku selama 90 hari. Pemerintah AS juga dapat melarang masuk semua pengungsi dari negara terkait selama 120 hari ke depan.
Namun larangan ini tidak berlaku bagi warga dari negara terkait yang ingin mengunjungi atau tinggal bersama keluarganya di AS. Larangan juga tidak berlaku bagi mahasiswa yang telah diterima di universitas di AS.