Jumat 28 Jul 2017 08:55 WIB

Inilah Mengapa Bani Israil Terusir dari Tanah Suci

Israel
Foto:
Bendera Israel dikibarkan warga.

Sejarah mencatat, bahwa Bani Israil memang melakukan kedurhakaan, sebelum hukuman dijatuhkan.

Era keemasan ( the golden age ) Bani Israil, terjadi di zaman Nabi Daud (1010-970 SM)dan Nabi Sulaiman  (970-931 SM). Setelah era Nabi Sulaiman, kerajaan tersebut terpecah dua. Kerajaan Israel di utara, yang beribukota Samaria, dan Kerajaan Yudea di selatan, dengan ibukota Yerusalem.

Kerajaan utara tak bertahan lama, dan jatuh pada 722 SM, setelah diserang bangsa Assyiria. Sedangkan, Kerajaan Yudea bertahan lebih lama, dan baru bubar tahun 586 SM, saat dihancurkan Nebukadnezar.

Sebelum bubarnya Kerajaan Yudea, raja-rajanya antara lain menyembah berhala bernama Ba’al, dewa  bangsa Kanaan. Mereka juga menyiksa dan memenjarakan nabi-nabi yang diutus memperingatkan seperti Armia (Yeremia) dan Ilyas (Elia).

Nabi lainnya mereka bunuh, seperti Nabi Syu’ya. Kisah ini dituliskan dalam Alquran, surah as-Shaaffat ayat 123-126: “Dan sesungguhnya Ilyas benar-benar termasuk salah seorang rasul-rasul. (ingatlah) ketika ia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu tidak bertakwa? Patutkah kamu menyembah Ba’al  dan kamu tinggalkan sebaik-baik Pencipta, (yaitu) Allah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu?’.”

Sedangkan, menjelang kehancuran kedua, Bani Israil juga melakukan berbagai penyimpangan seperti menghalalkan riba yang diharamkan dalam Taurat. Juga menyiksa dan membunuh nabi dan rasul, seperti membunuh Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, menolak Nabi Isa sebagai al-Masih yang dijanjikan, bahkan berbuat makar untuk membunuhnya, dan lain-lain.

Karena berbagai penyimpangan itu, Bani Israil kembali terusir dari Tanah Suci. Dan, tak seperti pengusiran pertama yang terkonsentrasi di Babilonia, pengusiran kedua ini membuat Bani Israil terpencar dalam diaspora.

Imran menyatakan diaspora Bani Israil tersebut tertulis dalam surah al-A’raf ayat 168: “Dan kami menyebarkan mereka sebagai komunitas yang terpisah-pisah ke seluruh penjuru bumi…”

Selama masa tersebut, lanjut Imran, orang Yahudi tak bisa kembali ke Ye rusalem untuk mengklaimnya sebagai milik mereka, kecuali Ya’juj dan Ma’juj tel ah dilepaskan, seperti tertulis di surah al-Anbiyaa ayat 95:

“Ada larangan pada sebuah kota yang telah kami hancurkan, bahwa mereka (penduduk kota itu) akan kembali (untuk mengklaimnya), sampai Ya’juj dan Ma’juj dilepaskan…”

Bani Israil, kata Imran, mungkin dimaafkan jika mereka menerima utusan berikutnya, seperti tertulis di surah al A’raf ayat (157): “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Ketika Nabi Muhammad diutus, kata Imran, mereka dimudahkan untuk mengenali bahwa Tuhan yang mengutus Musa dan nabi-nabi Bani Israil, juga adalah Tuhan yang sama yang mengutus Nabi Muhammad.  Yaitu, saat Baitul Maqdis menjadi kiblat pertama untuk shalat. Tapi, setelah 18 bulan, dan jelas bahwa Bani Israil menolak, bahkan berencana menghancurkan Islam, maka arah kiblat pun berubah ke Makkah.

“Dalam perubahan kiblat itu, Allah berfirman dalam Alquran, bahwa “Kesalehan itu bukanlah menghadapkan wajah ke timur dan ke barat…” (al-Baq arah ayat 177 –Red). Setelah kiblat berubah, pintu tertutup. Dan, di antara tan da-tandanya adalah dilepaskannya al Masih Dajjal dan Ya’juj dan Ma’juj. Ma  ka orang-orang Yahudi akan menghadapi hukuman berikutnya,” papar Imran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement