REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengizinkan polisi untuk memberi tindakan keras para tersangka kejahatan yang menolak untuk ditangkap, Senin (28/8). Tindakan ini termasuk dengan menghilangkan nyawa, jika memang dinilai diperlukan.
"Tugas Anda sebagai polisi adalah mengatasi hambatan dari orang yang Anda tangkap, jadi jika dia menolak, Anda dapat membunuhnya yang 'idiot' itu perintah saya," ujar Duterte dalam sebuah pidato di hadapan para polisi negara itu seperti dilansir The Guardian, Senin (28/8).
Ia menekankan, perintah itu bukan berarti polisi telah melakukan tindak pembunuhan di luar hukum. Namun, sebaliknya justru polisi menegakkan supermasi hukum saat menjalankan tugas mereka dalam mengamankan negara.
Duterte telah mendapat kritik banyak pihak, baik dari negara itu maupun internasional atas tindakan keras yang ia izinkan kepada aparat keamanan Filipina, khususnya dalam kasus narkotika.
Sejak menjabat sebagai pemimpin negara itu pada 30 Juni 2016, ia mengizinkan polisi dan aparat keamanan untuk melakukan tindakan keras terhadap orang-orang terkait kejahatan itu.
Sebanyak 9.000 orang diperkirakan tewas. Banyak pemimpin negara dan kelompok aktivis HAM yang menyebut bahwa mantan wali kota Davao itu justru telah melakukan pembunuhan sewenang-wenang. Hal itu karena banyak di antara mereka yang kehilangan nyawa belum terbukti secara hukum sepenuhnya bersalah.
PBB kemudian juga mengirimkan penyelidik khusus untuk mengusut kasus dugaan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Pemerintah Filipina. Penyelidik itu adalah Agnes Callamard yang memiliki jabatan sebagai pelapor khusus.
Baru-baru ini, Duterte mendapat kritik luas dari warga di negara itu karena kematian seorang remaja bernama Kian Loyd Delos Santos. Ia yang masih berstatus sebagai pelajar tewas pada 16 Agutus lalu karena tindakan keras petugas anti-narkotika dari Kepolisian Filipina.
Unjuk rasa secara besar-besaran digelar untuk memprotes Duterte. Lebih dari 1.000 orang yang berpartisipasi, termasuk biarawati, pastor, dan ratusan anak dalam demonstrasi damai yang dilakukan beberapa saat setelah mereka mengikuti prosesi pemakaman Santos pada Sabtu (26/8) lalu.
Baca juga, Duterte Buka Kemungkinan Darurat Militer Filipina.