Sabtu 02 Sep 2017 16:02 WIB

Mungkinkah Sebuah Penghargaan Nobel Dicabut?

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agus Yulianto
Aung San Suu Kyi
Foto: AP
Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kontroversi lagi-lagi mengemuka seputar tokoh sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi. Penerima Hadiah Nobel di bidang perdamaian dunia itu, menuai kecaman. Sebab, perempuan itu dinilai tidak berbuat apa-apa untuk mengakhiri penderitaan etnis Rohingya yang tinggal di negara-bagian Rakhine.

Konflik terjadi baru-baru ini. Militer Myanmar menyerbu basis-basis pejuang Rohingya sehingga menewaskan 384 jiwa, termasuk warga sipil setempat sebanyak 14 orang. Laporan PBB menyebutkan, dalam sepekan terakhir sekitar 38 ribu orang Rohingya mengungsi ke perbatasan Bangladesh. Sejumlah organisasi HAM internasional bahkan menegaskan genosida telah terjadi atas etnis Rohingya.

Banyak suara kecewa dan marah terhadap sosok pengusung demokrasi di Myanmar itu. Sebuah petisi daring di change.org, misalnya, telah menjaring 222 ribu pendukung yang mendesak Panitia Nobel agar mencabut hadiah bergengsi itu dari Aung San Suu Kyi.

Namun, apakah hal itu dimungkinkan menurut aturan yang berlaku? Sayangnya, tidak mungkin.

Seperti dilansir dari laman resminya, NobelPrize.org, anggaran dasar Yayasan Nobel memiliki sejumlah pasal. Dalam pasal 10 mengenai naik-banding, disebutkan bahwa "Tidak ada banding dapat dilakukan terhadap keputusan badan pemberian hadiah (Nobel --Red) sehubungan dengan pemberian hadiah."

Dalam paragraf berikutnya, dijelaskan bahwa panitia nobel tidak akan membocoran kepada publik segenap proposal, pengecekan, atau pendapat-pendapat yang ada tentang pemberian sebuah hadiah nobel.

Namun, panitia nobel dapat mengizinkan akses kepada publik mengenai bahan-bahan yang menjadi pertimbangan pemberian hadiah tersebut. Tujuannya adalah riset kesejarahan intelektual. Akan tetapi, izin itu pun hanya dapat terjadi selekasnya 50 tahun sejak tanggal keputusan pemberian Hadiah Nobel yang dimaksud.

Aung San Suu Kyi bukan nama pertama yang penuh kontroversi di ajang nobel, khususnya bidang perdamaian dunia. Misalnya, presiden Amerika Serikat (AS) ke-44, Barack Obama. Bahkan, seorang tokoh dari pihak panitia nobel, Geir Lundestad, menyesalkan pemberian hadiah nobel kepada politikus Partai Demokrat itu. Demikian dilansir dari BBC, tanggal 17 September 2015.

Pada 2009, Obama menerima penghargaan bergengsi itu di bidang perdamaian dunia. Menurut Lundestad, sesungguhnya Obama sendiri sempat kaget dengan keputusan Panitia Nobel saat itu. Untuk menunjukkan konsistensinya, sejak 2014 Lundestad mundur dari jabatannya selaku sekretaris Panitia Nobel.

Di luar itu, ada pula kasus James Dewey Watson. Berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya, pria ini justru begitu menyesal atas perbuatannya yang dinilai tidak pantas dilakukan seorang penerima nobel.

Pada 1962, ilmuwan AS ini, bersama dengan Francis Crick dan Maurice Wilkins, menerima hadiah nobel di bidang kedokteran. Ketiganya berjasa dalam menemukan struktur DNA.

Seperti dilansir Mail Online, 29 November 2014, James Watson menyesal karena telah berkomentar tak pantas di depan publik. Dalam sebuah kesempatan, dia mengklaim bahwa orang Afrika sejatinya memiliki kecerdasan di bawah rata-rata.

Sebagai bentuk penyesalan, Watson bahkan mengumumkan akan menjual medali hadiah nobel yang diterimanya. Rumah lelang Christie''s di New York, AS, menaksir nilai benda itu sebesar 2,5 juta poundsterling (kini setara Rp 43,2 miliar).

Hadiah Nobel memang merupakan penghargaan yang prestisius. Namun, sikap dan pemikiran seseorang seyogianya adil sejak dalam pikiran. Entah dia penerima nobel atau bukan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement